Tak ada yang salah dalam pernyataan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie, bahwa partainya tidak akan pernah mendukung peraturan daerah yang dilandasi tafsir keagamaan, seperti perda Injil dan syariah. Regulasi demikian cenderung bertentangan dengan konstitusi karena mendiskriminasi warga negara.
Berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, dari 1999 hingga 2006 ada 421 peraturan yang diskriminatif, dari peraturan daerah hingga surat edaran, yang sebagiannya bersandar pada tafsir keagamaan. Sebanyak 333 peraturan menyasar perempuan dengan membatasi aktivitas atau penampilan mereka. Ada juga yang mewajibkan siswa pandai membaca kitab suci.
Lembaga pegiat hak asasi manusia, Setara Institute, merekam data serupa. Hingga akhir 2017, ada 183 peraturan yang diskriminatif, intoleran, serta melanggar kebebasan beragama. Peraturan tersebut hanya memihak kelompok berdasarkan agama atau gender tertentu. Maka sudah sepatutnya beleid semacam ini ditolak.
Apalagi motif di balik lahirnya perda syariah di sejumlah daerah hanyalah kepentingan politik elektoral-seperti hasil riset peneliti Amerika Serikat, Robin Bush, dalam makalahnya yang berjudul "Regional ‘Sharia’ Regulations in Indonesia: Anomaly or Symptom?". Politikus lokal, baik dari partai Islam maupun nasionalis, menggunakan isu perda syariah supaya tak ditinggalkan konstituen.
Regulasi semestinya tak mengatur hal-hal yang sangat pribadi. Misalnya, soal keyakinan dan bagaimana menjalankan keyakinan tersebut biarlah menjadi urusan pribadi. Tugas negara adalah menjamin warganya bebas memeluk dan beribadah sesuai dengan imannya, bukan memaksa mereka beribadah atau mengatur cara hidup berdasarkan tafsir keagamaan tertentu.
Untuk itu, melaporkan Grace Natalie ke polisi dengan tuduhan penistaan agama atas pidatonya pada peringatan ulang tahun PSI yang keempat tersebut jelas keliru. Grace tidak mengajak orang lain untuk memusuhi atau menodai agama. Ia hanya sedang membeberkan program partainya bahwa cara mencegah diskriminasi, ketidakadilan, dan intoleransi salah satunya adalah tidak mendukung perda keagamaan-yang terbukti diskriminatif.
Sulit untuk tidak mengaitkan pelaporan Grace ke polisi oleh Eggy Sudjana, yang mewakili organisasi Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, dengan kampanye pemilihan presiden 2019. Eggy adalah politikus Partai Amanat Nasional, yang juga pendukung Prabowo Subianto. Adapun PSI adalah salah satu penyokong Joko Widodo. Mengangkat isu politik identitas untuk meraup dukungan pemilih adalah siasat tak bermutu.
Sayangnya, kubu Jokowi tak mendukung pernyataan Grace. Tim pemenangan dan partai pengusung buang badan seperti tak mau kena getah. Ini ironi: partai dan pendukung calon presiden mengabaikan seruan melawan diskriminasi dan ketidakadilan karena takut kehilangan suara dalam pemilihan umum.