Koalisi Retak Calon Presiden

Penulis

Selasa, 20 November 2018 07:00 WIB

Dua calon presiden, Joko Widodo alias Jokowi dan Prabowo Subianto, berpelukan dalam acara Deklarasi Kampanye Damai di halaman Tugu Monumen Nasional, Jakarta, Ahad, 23 September 2018. Kedua calon pemimpin negara itu tampak akrab dan mesra dalam acara tersebut. AP Photo/Tatan Syuflana

PILIHAN sejumlah partai politik berkonsentrasi memenangkan calon legislatornya ketimbang habis-habisan berkampanye untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden sebetulnya bisa dimaklumi. Kemenangan kandidat presiden memang tak identik dengan lonjakan suara buat partai pendukung. Sejumlah survei bahkan memastikan: hanya partai asal sang calon yang bakal memanen keuntungan elektoral.

Karena itulah ogah-ogahannya koalisi partai menjajakan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, misalnya, sebenarnya sudah bisa diperkirakan sejak awal. Kader partai pengusung tak bisa diharapkan secara swadaya bergerak memenangkan kandidat presiden. Hanya limpahan logistik dari tim kampanye nasional di Jakarta yang bisa ala kadarnya menggerakkan mesin partai di daerah. Berantakannya kerja sama partai-partai pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno idem ditto. Saling tuding antara Partai Demokrat dan Partai Gerindra sepekan terakhir menunjukkan persaingan sengit kedua partai. Gerindra menuding Agus Harimurti Yudhoyono tak optimal mengkampanyekan Prabowo-Sandiaga.

Anomali semacam ini seharusnya disadari partai politik pendukung pemerintah sejak pembahasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dilakukan setahun lalu. Peraturan itu mensyaratkan partai atau gabungan partai memiliki 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya untuk bisa mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Publik masih ingat: pengesahan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold itu teramat dipaksakan. Ketika itu, empat partai memilih walk out dari sidang paripurna: Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera.

Dengan menyetujui pasal presidential threshold itu, mayoritas anggota DPR sebenarnya tengah membangun jebakan bagi diri mereka sendiri. Partai menengah dan kecil jadi tak punya pilihan selain menjalin koalisi setengah hati dengan partai yang punya suara lebih besar. Sedangkan partai-partai besar harus rela calon presidennya diboncengi partai tanpa kontribusi memadai. Kawin paksa antarpartai inilah yang membuat kampanye pemilu kali ini diwarnai kebingungan.

Apalagi aturan ambang batas ini sebenarnya tak konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada awal 2014. Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilihan presiden dan anggota legislatif harus diadakan serentak, aturan soal presidential threshold sama sekali tak disebut-sebut. Semua partai politik dipersilakan mengajukan calon presiden sesuai dengan visi dan misi partainya agar kandidat RI-1 dan calon legislator dari partai yang sama bisa menikmati coattail effect dari popularitas satu sama lain. Setelah terpilih pun, mereka bisa saling mendukung di lembaga eksekutif dan legislatif.

Advertising
Advertising

Pasal ambang batas pencalonan presiden ini juga membatasi pilihan rakyat. Para pemilih kehilangan kesempatan memilih jagoan masing-masing berdasarkan afiliasi politik dan keyakinan mereka. Tak dapat dihindari, ada kesan pesta demokrasi lima tahunan ini sudah dibajak para elite partai yang diam-diam mengatur agar hanya figur tertentu yang bisa menjadi calon presiden.

Sayangnya, gugatan atas pasal presidential threshold ini kandas di Mahkamah Konstitusi pada Oktober lalu. Majelis hakim konstitusi berpendapat ambang batas ini penting untuk menjaga stabilitas politik dan menjamin koalisi permanen di parlemen. Pertimbangan politis semacam itu mengabaikan fakta yuridis bahwa aturan ini secara esensial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 6-A ayat 2 konstitusi menegaskan: presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pemilihan umum.

Kini nasi sudah menjadi bubur. Pemilu sudah di ambang mata. Keputusan partai politik untuk berfokus pada keberhasilan calon legislatornya tak bisa disalahkan. Hidup-mati mereka ditentukan oleh perolehan suara dalam pemilihan anggota legislatif. Jika gagal memenuhi ambang batas 4 persen untuk menempatkan wakil di parlemen, partai terancam bubar. Di sisi lain, para kandidat RI-1 harus realistis dan mengandalkan tim sukses mereka sendiri. Selayaknya mereka tak menggantungkan harapan terlalu tinggi pada barisan partai pengusung.

Pengalaman pahit pada pemilu kali ini hendaknya menjadi pelajaran bagi partai politik agar lebih cermat berhitung di masa depan. Jika lolos ke Senayan, mereka harus segera mencabut presidential threshold dan mengembalikan demokrasi kita ke relnya.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya