Politik Orwellian dalam Perfilman Kita

Penulis

Kemala Atmojo

Jumat, 16 November 2018 07:30 WIB

Ilustrasi Film (pixabay.com)

Kemala Atmojo
Pencinta Film

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman membedakan antara pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman. Yang pertama bersifat nonkomersial, yang terakhir komersial. Namun keduanya terkena aturan yang sama: setiap karya mereka yang hendak diedarkan dan dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor (Pasal 57). Hal itu ditegaskan lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film (LSF). Jadi, tak peduli itu jenis film apa, diedarkan dan dipertunjukkan di mana, semuanya harus disensor lebih dulu.

Bagi masyarakat pers, sensor adalah kata yang "asing". Tak ada kata sensor dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun wartawan wajib menaati Kode Etik Jurnalistik. Himpunan etika profesi itu memberikan batasan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan wartawan. Bagi yang melanggar dapat diadukan ke Dewan Pers. Demikian juga dalam dunia perbukuan, tidak ada kata sensor dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

Sensor hanya ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang Perfilman. Undang-Undang Penyiaran menyebutkan isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga berwenang. Selain itu, seluruh isi siaran dikontrol Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Khusus mengenai film, meski telah mendapatkan surat tanda lulus sensor dari LSF, KPI tetap melakukan pengawasan sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.

Alasan utama terhadap televisi dilakukan pengawasan dan sensor adalah karena penyiaran televisi menggunakan frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga serta dilindungi negara. Itu harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Advertising
Advertising

Adapun film, terutama di bioskop, tidak ada urusan dengan frekuensi publik. Badan sensor dulu dibentuk pemerintah Hindia Belanda yang antara lain bertujuan melindungi citra mereka dimata penduduk lokal. Ketika Indonesia merdeka, segala badan dan aturan tetap berlaku sebelum dibuatkan penggantinya. Jadi, lembaga dan kebijakan sensor pada masa penjajahan itu diterima begitu saja dan diteruskan hingga kini.

Begitu luas jangkauan dan kuasanya, LSF-dalam batas tertentu, juga KPI-mirip dengan "polisi pikiran" dalam novel Nineteen Eighty Four (1984) karya George Orwell. Novel ini ditulis pada 1948-1949, tapi "meramalkan" situasi yang terjadi di London pada 1984. Digambarkan, seorang anggota partai level bawah bernama Winston Smith, yang selalu berusaha menjadi warga negara yang baik meski di dalam hati dan pikirannya bersemayam antipati terhadap kediktatoran yang ada. Namun Winston tidak berani melakukan perlawanan secara terbuka sebab polisi pikiran, teleskrin, dan mikrofon tersembunyi ada di mana-mana. Winston merasa frustrasi dan hanya bisa membuat tulisan secara sembunyi-sembunyi.

Orwell menggambarkan bagaimana seorang diktator dapat memanipulasi dan mengontrol sejarah, pemikiran, dan kehidupan orang lain. Kini kata "Orwellian" dipakai untuk menunjukkan situasi atau kondisi yang merusak kesejahteraan masyarakat yang bebas dan terbuka. Kata itu juga digunakan untuk menggambarkan kebijakan brutal melalui propaganda, pengawasan, dan penolakan kebenaran oleh pemerintah represif modern. Intinya: totaliterianisme.

Jadi, seperti teleskrin, LSF dan KPI mengontrol apa saja yang boleh dan tidak boleh dibuat sineas serta apa saja yang boleh dan tidak boleh ditonton masyarakat. Seperti teleskrin, akhirnya LSF mempengaruhi ide dan kreativitas sineas, bahkan sejak masih berada dalam pikiran.

Jalan keluarnya? Pertama, masyarakat perfilman harus membuat kode etik produksi. Norma-norma yang dimuat dapat menjadi pedoman bersama tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan dalam memproduksi film. Mereka yang melanggar kode etik itu dapat diadukan kepada Badan Perfilman Indonesia (BPI) versi baru dan kalau perlu diproses lewat jalur hukum. Kedua, LSF diubah menjadi lembaga pemeringkat saja. Seperti "aturan pakai" dalam produk obat-obatan, hasil pemeringkatan film LSF juga berfungsi sebagai "aturan pakai" bagi siapa saja yang ingin menikmatinya. Sehingga terwujudlah self- censorship yang dicita-citakan insan film dan para anggota sensor saat ini.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

57 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya