Putu Setia
@mpujayaprema
SETIAP ada bencana di negeri ini, saya kagum pada kegesitan tim SAR. Mereka bergerak cepat menuju sasaran dan langsung melakukan tindakan. Apakah itu berupa pencarian korban maupun pertolongan, langkahnya begitu profesional.
Dulu, badan yang menaungi SAR ini namanya Basarnas (Badan SAR Nasional). SAR itu sendiri akronim dari Search And Rescue. Atas nama kejanggalan membentuk akronim yang di dalamnya ada akronim, maka Basarnas diganti menjadi Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP). Apalah arti nama, tetap Basarnas lebih populer.
Di mana ada bencana, di situ ada SAR. Badan ini dipimpin oleh perwira TNI bintang tiga. Tentara yang tugas pokoknya mengamankan wilayah kedaulatan negara berubah tugas mencari korban di reruntuhan bangunan kalau ada gempa, menyelam di samudra kalau ada pesawat udara yang nyemplung ke laut. Bahwa upaya melakukan pencarian dan pertolongan itu hasilnya tak bisa cepat memenuhi harapan keluarga korban, itu masalah lain. Betapa pun canggihnya alat-alat yang mereka miliki, tetap saja lebih canggih rencana Tuhan yang punya skenario sendiri dalam mengawal semesta ini. Kita, manusia, hanyalah sebutir debu dalam kemahakuasaan Tuhan.
Lalu, apakah bencana adalah kehendak Tuhan sebagai kutukan kepada umat-Nya atau yang lazim dalam istilah agama disebut azab Tuhan? Tak akan ada kesimpulan meski diperdebatkan berhari-hari. Begitu rahasia dari kekuasaan Tuhan mau kita simpulkan, maka yang terjadi adalah pemihakan kita terhadap apa yang kita sebut kebenaran. Kita sudah menyalurkan opini, baik secara sadar maupun spontanitas, yang bisa saja dipengaruhi oleh nafsu tertentu dalam diri kita.
Seorang politikus menyebutkan, negeri ini beruntun tertimpa bencana. Belum selesai teratasi dampak gempa di Lombok, muncul gempa plus tsunami di Palu dan Donggala. Baru saja tanggap darurat dihentikan di Palu dan Donggala, menyusul jatuhnya pesawat Lion Air di perairan Karawang. Ini karena kita salah memilih pemimpin dan Tuhan menjatuhkan azab sebagai peringatan.
Sesadar-sadarnya orang itu mengaitkan bencana dengan azab, maka yang sesungguhnya terjadi adalah otaknya kotor dengan nafsu yang berpihak dalam urusan duniawi-terutama nafsu yang berkaitan dengan politik. Apakah tak ada azab Tuhan versi lain, misalnya bencana yang beruntun ini adalah cara Tuhan untuk mengingatkan politikus yang kerjanya nyinyir dan tak pernah mengakui sukses seorang pemimpin yang dicintai rakyat?
Azab Tuhan bisa dipermainkan tergantung siapa yang menyalahkan dan siapa yang disalahkan. Ada spanduk: "Sedekah Laut Menimbulkan Tsunami" dengan alasan itu perbuatan syirik. Bukankah bisa dibalas dengan spanduk "Melupakan Sedekah Laut Bisa Menimbulkan Bencana" dengan alasan kita tak pernah mensyukuri karunia dari laut.
Di Selandia Baru sering terjadi gempa. Begitu pula di Jepang. Tapi tak ada yang mengaitkan bencana dengan kutukan Tuhan. Bencana ya bencana saja karena bumi diciptakan untuk keseimbangan dalam perbedaan. Kebetulan kita tinggal di daerah bencana, namun diberi kesuburan dan alam yang indah.
Bencana tidak adil dikaitkan dengan kutukan Tuhan jika kita masih percaya Tuhan sebagai Sang Mahapengasih. Bahwa kita sering melakukan kesalahan tentu tak henti-hentinya melakukan tobat karena kita percaya Tuhan Sang Mahapengampun. Marilah kita hentikan mengaitkan bencana dengan azab, termasuk dalam niat bercanda. Lebih bijak mendukung tim SAR yang bekerja atas nama kemanusiaan, bukan karena "ada azab lantaran kita salah memilih pemimpin".