Syak Wasangka Dana Kelurahan

Penulis

Rabu, 31 Oktober 2018 07:00 WIB

Pembangunan jalan dengan anggaran dana desa di Desa Pangkalan Gelebak, Kecamatan Rambutan, Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat, 13 Juli 2018.

Presiden Joko Widodo sebaiknya menunda penggunaan anggaran kelurahan untuk tahun depan. Nihilnya landasan hukum bisa mengundang kecurigaan bahwa pemerintah memainkan politik anggaran menjelang pemilihan presiden. Tanpa adanya aturan pelaksanaan yang jelas, anggaran itu juga rawan diselewengkan.

Wasangka muncul manakala Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat terkesan terburu-buru menyetujui anggaran Rp 3 triliun untuk 8.485 kelurahan atau sekitar Rp 353 juta per kelurahan. Alokasi dana yang diambil dari anggaran desa itu memang diusulkan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia. Tapi Presiden Jokowi tidak menyinggungnya sama sekali ketika menyampaikan nota keuangan pada Agustus lalu.

Pemerintah ternyata juga belum menyiapkan aturan penggunaan anggaran kelurahan, termasuk kriteria kelurahan yang akan mendapat dana itu. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, misalnya, menyatakan tak semua kelurahan menerima dana tersebut, tapi hanya yang di luar Jawa. Tanpa instrumen hukum yang mengatur secara ketat dan transparan ihwal penggunaan dan pengawasannya, dana kelurahan akan gampang disalahgunakan.

Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai satu-satunya landasan hukum alokasi dana kelurahan sebetulnya kurang kuat dan rentan bertabrakan dengan aturan lain. Apalagi Undang-Undang Pemerintahan Daerah tak menyebutkan kelurahan berhak mengelola anggaran sendiri. Sesuai dengan undang-undang ini, pemerintah daerah mengalokasikan dana pembangunan kelurahan melalui anggaran kecamatan.

Posisi kelurahan memang berbeda dengan desa, yang bersifat otonom dan diatur melalui Undang-Undang Desa. Selain mendapat anggaran khusus, desa memperoleh sepuluh persen hasil pajak dan retribusi daerah serta bagian dari dana perimbangan. Pengaturan dana itu pun sudah termaktub dalam peraturan pemerintah serta peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Dengan pengaturan lengkap itu pun, sebagian dana desa masih diselewengkan. Sepanjang 2015-2017, setidaknya terjadi 51 kasus penyalahgunaan, 32 penggelapan, dan 17 laporan fiktif. Kepala daerah juga kerap memperlambat pencairan anggaran tersebut untuk menekan kepala desa agar ikut mendukung dalam pemilihan kepala daerah.

Bukan tak mungkin modus seperti itu akan terjadi pula dalam penyaluran dana kelurahan. Bisa saja para kepala daerah—sebagian besar sudah menyatakan mendukung calon tertentu—menggunakan cara yang sama untuk memenangkan jagoannya dalam pemilihan presiden.

Pemerintah seharusnya tidak terburu-buru mengabulkan aspirasi para wali kota. Alasan mereka bahwa dana itu dibutuhkan untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kemacetan, kriminalitas, dan kemiskinan, tidaklah masuk akal. Justru tanggung jawab para wali kota untuk membereskan semua masalah itu dengan mengefektifkan anggaran daerah yang sudah ada.

Presiden Jokowi, yang sempat melontarkan kata “sontoloyo” gara-gara dikritik soal dana kelurahan, semestinya me--ng-utamakan tata kelola pemerintahan yang baik. Ia juga mesti berhati-hati dalam menggunakan anggaran negara. Pemerintah dan DPR bisa merevisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah sehingga memungkinkan kelurahan mengelola dana sendiri. Cara lain, Jokowi bisa menerbitkan peraturan pemerintah untuk memperkuat posisi kelurahan.

Jika direncanakan dan disiapkan lebih matang, alokasi da-na ke-lu--rahan tentu tidak mengundang keributan dan syak wasang-ka.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya