Rencana pemerintah mengucurkan dana untuk kelurahan sebesar Rp 3 triliun tahun depan layak dicurigai sebagai gula-gula menjelang pemilihan presiden. Kecurigaan ini meruap karena niat pemerintah yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 itu tanpa payung hukum yang jelas.
Pemerintah pusat begitu saja menerima usul Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada Juli lalu. Para wali kota yang tergabung dalam Asosiasi mengeluh kepada Presiden soal ketiadaan anggaran menangani kemacetan, kriminalitas, dan kemiskinan yang dieksekusi para lurah.
Keluhan yang sebetulnya bisa diselesaikan lewat kreativitas kebijakan ini diterima pemerintah pusat tanpa kajian terlebih dahulu. Kementerian Keuangan lalu mengeksekusinya dalam RAPBN 2019.
Agar sesuai dengan mekanisme anggaran, dana kelurahan dimasukkan ke Dana Alokasi Umum (DAU). Sumbernya adalah pemotongan Rp 73 triliun Dana Desa. Jika alokasi ini disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan dibagi rata untuk 8.430 kelurahan, setiap lurah akan mendapat Rp 355 juta.
Cara ini terkesan legal. Tapi, jika ditinjau lebih jauh, ada beberapa cacat prosedur yang mengganggu. Pertama, sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah, lurah bukan sebagai kuasa pengguna anggaran. Berbeda dengan kepala desa yang dipilih langsung masyarakat, anggaran membangun desa dikelola mandiri bersama Badan Perwakilan Desa. Karena itu, menggelontorkan dana langsung ke para lurah rawan penyelewengan.
Kedua, urusan kriminalitas, kemiskinan, dan kemacetan merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten atau kota. Jika pemerintah ingin menanggulangi masalah-masalah tersebut, kepala daerah bisa langsung menanganinya. Bahwa teknisnya melibatkan para lurah, itu memang kewenangannya. Artinya, pemerintah tak perlu memakai cara lain sebagai alasan menaikkan DAU.
Ketiga, memotong Dana Desa untuk dana kelurahan menjadi kurang adil karena Dana Desa merupakan amanat undang-undang. Para kepala desa bisa menggugat pemerintah pusat karena pengalokasian yang mengingkari konstitusi ini.
Dengan alasan-alasan tersebut, pemberian anggaran negara atas nama dana kelurahan menjadi tidak perlu dilakukan buru-buru. Mengalokasikannya tanpa membuat payung hukum terlebih dahulu kian mengesankan pemerintah pusat sedang memainkan politik anggaran sebagai bagian dari strategi inkumben dalam memikat pemilih.
Presiden Jokowi seharusnya menyiapkan peraturan pemerintah terlebih dahulu agar para lurah menjadi kuasa pengguna anggaran, sehingga pemakaiannya transparan dan bisa menjadi obyek pemeriksaan penegak hukum jika ada penyelewengan. Tanpa aturan yang jelas, uang pajak itu bisa hanya berakhir sebagai gula-gula di tengah pemilihan presiden.
Dalam sistem pemilihan langsung, tak terhindarkan "rekayasa" kebijakan, terutama jika salah satu calon adalah pejabat bertahan seperti Jokowi. Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang itu, perlu seperangkat aturan untuk memayunginya agar pelaksanaannya terpantau publik.