Enrico Simanjuntak
Kandidat Doktor Hukum Universitas Indonesia
Sebagai rancangan undang-undang prioritas pertama pada 2018, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan ditargetkan rampung dan akan disahkan secepat mungkin. Sebelum terlambat, kiranya pemerintah dan parlemen bersedia memperhatikan salah satu poin krusial dalam pembahasan rancangan inisiatif DPR tersebut, yakni rencana pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan di bawah lingkungan peradilan umum.
Tanpa kajian dan analisis mendalam, terutama pembahasan bersama dengan pemangku kepentingan, seperti institusi peradilan, pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan selalu ditawarkan sebagai solusi ampuh mengatasi masalah benang kusut sengketa pertanahan/agraria. Benarkah?
Sejatinya, sengketa pertanahan memiliki banyak wajah dan melibatkan beragam isu hukum. Maka, penyelesaiannya akan melibatkan multi-yurisdiksi jalur penyelesaian hukum, baik secara perdata (peradilan umum, peradilan agama) atau pidana (peradilan umum) maupun administrasi (peradilan tata usaha negara). Maka, sulit membayangkan hadirnya satu peradilan tunggal pertanahan yang mampu menjangkau semua yurisdiksi hukum terkait dengan masalah pertanahan.
Memposisikan pengadilan pertanahan berada di lingkungan peradilan umum sama saja dengan menambah beban berat lingkungan peradilan umum. Ini juga menjauhkan sasaran efektivitas dan efisiensi penyelesaian perkara berdasarkan spesialisasi hakim. Urgensi masuknya hakim ad hoc pertanahan juga perlu ditimbang. Semestinya, masalah rekrutmen hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi atau pengadilan hubungan industrial harus menjadi cermin bagi pembuat undang-undang dalam menawarkan opsi hakim ad hoc pertanahan.
Permasalahan di hulu adalah pluralisme yurisdiksi pemutus sengketa pertanahan ini tidak dapat dipisahkan dari sistem stelsel pendaftaran tanah secara negatif. Hal ini telah diakui secara tersirat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013: 32). Dalam sistem ini, negara tidak sepenuhnya menjamin lalu lintas perpindahan hak atas tanah. Secara yuridis formal, sertifikat hak atas tanah merupakan tanda bukti hak. Tapi, sepanjang masih dapat dipersoalkan oleh pihak lain, kepastian hukum pemegang hak akan selalu lepas dari kompensasi dan pertanggungjawaban hukum negara.
Posisi kantor pertanahan sebagai representasi pemerintah (dan negara) tak ubahnya penonton pasif dalam pertempuran hukum masyarakat yang bersengketa. Negara tidak dapat berbuat banyak dan cenderung absen bertindak sebagaimana seharusnya, yakni sebagai penjamin hak-hak atas tanah masyarakat.
Ironisnya, jenis hukum acara yang rencananya digunakan oleh pengadilan pertanahan adalah hukum acara perdata yang jelas bukan merupakan bagian dari instrumen hukum publik. Pilihan yang tidak disertai dasar argumentasi hukum ini digunakan hanya karena desain pengadilan pertanahan berada di bawah lingkungan peradilan umum.
Perubahan kiblat sistem pendaftaran tanah, dari stelsel negatif ke stelsel positif, yang dijanjikan dalam RUU Pertanahan akan rancu dan kontraproduktif dengan desain serta kedudukan pengadilan pertanahan yang direncanakan. Konsekuensi yuridis berlakunya stelsel pendaftaran positif adalah menuntut sikap proaktif administrator pemerintah di bidang pertanahan dalam melindungi kepentingan warga negara. Maka, peran hukum administrasi akan meningkat signifikan karena data dan arsip publik pertanahan akan menjadi basis acuan perlindungan hukum bagi para pihak.
Begitu juga bila sebidang tanah akan dimanfaatkan, ia harus selalu disesuaikan dengan aturan hukum publik. Hak-hak atas tanah yang bersifat individual akan selalu disesuaikan dengan kaidah hukum publik, seperti dalam kebijakan tata ruang pemerintah.
Jika desain dan kedudukan pengadilan pertanahan dipaksakan seperti versi RUU Pertanahan sekarang, ia tidak sejalan dengan maksud reforma agraria. Selain itu, semua pelajaran hukum mahasiswa tingkat pertama harus direvisi total agar mahasiswa tidak terasing dan terheran-heran menyaksikan kontradiksi kaidah hukum (acara) perdata digunakan dalam menegakkan aturan pertanahan yang akan beralih ke hukum publik.