Langkah Mundur Aturan Pelaporan Korupsi

Penulis

Kamis, 18 Oktober 2018 07:00 WIB

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, memberikan keterangan kepada awak media di gedung KPK, Jakarta, Senin, 8 Oktober 2018. Penyidik KPK telah mengembangkan penanganan perkara dugaan korupsi dalam pembangunan Dermaga Sabang tahun 2006-2011, dan menetapkan dua tersangka baru, yakni Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan orang kepercayaan Irwandi Yusuf, Izil Azhar, atas penerimaan gratifikasi sebesar Rp 32 miliar. TEMPO/Imam Sukamto

PERATURAN pemerintah tentang pelaporan kasus korupsi yang diteken Presiden Joko Widodo pada 17 September lalu merupakan langkah mundur. Bukan hanya jumlah hadiah bagi pelapor kini dibatasi, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini juga sarat kelemahan.

Peraturan ini menggantikan aturan serupa yang diterbitkan pada 2000. Bedanya, dalam aturan lama, mereka yang melaporkan kasus korupsi bisa mendapat premi atau imbalan 2 permil atau 0,2 persen dari kerugian negara yang dapat dikembalikan. Makin besar kerugian negara yang diselamatkan, makin besar hadiah bagi pelapor. Dalam aturan baru, pelapor hanya akan mendapat premi maksimal Rp 200 juta. Ketentuan baru ini tak merinci teknik penghitungannya.

Komisi Pemberantasan Korupsi termasuk yang berkeberatan atas pembatasan jumlah hadiah tersebut. Saat pembahasan, KPK mengusulkan kepada pemerintah agar menaikkan besaran hadiah dari 0,2 persen menjadi 1 persen dari kerugian negara. Komisi antikorupsi beralasan besaran hadiah yang ada selama ini tak lagi menarik sehingga belakangan jarang ada yang mau menjadi whistleblower. Tapi usul KPK ditolak. Pemerintah justru memutuskan membatasi jumlahnya maksimal Rp 200 juta. Di negara lain, hadiah bagi pelapor korupsi terbilang besar. Di Amerika Serikat, misalnya, pelapor kejahatan rasuah bisa mendapat 10-30 persen dari denda senilai US$ 1 juta atau lebih yang dijatuhkan pengadilan terhadap pelaku korupsi.

Peraturan baru ini juga memiliki kelemahan serius yang justru bisa membuat orang tidak mau melaporkan kasus korupsi. Dari 25 pasal dalam peraturan tersebut, tak ada satu pun yang memuat jaminan kerahasiaan identitas pelapor. Sedangkan dalam aturan lama, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000, ada pasal yang memuat ketentuan bahwa penegak hukum wajib merahasiakan identitas pelapor.

Ihwal jaminan keamanan pelapor juga tak menjadi perhatian. Padahal, menurut Transparency International Indonesia, sejak 2004 hingga 2017, ada sekitar seratus teror ancaman atau penyerangan terhadap pelapor korupsi. Peraturan lama sangat tegas memerintahkan penegak hukum memberikan pengamanan fisik terhadap pelapor dan keluarganya bila diperlukan.

Advertising
Advertising

Bentuk kemunduran lain menyangkut perlindungan hukum. Dalam aturan baru, perlindungan hukum hanya diberikan kepada pelapor yang laporannya mengandung kebenaran. Peraturan lama tak mencantumkan syarat itu. Semua pelapor berhak mendapat perlindungan hukum, baik mengenai status hukum maupun rasa amannya.

Presiden Joko Widodo selayaknya memperbaiki peraturan pemerintah yang tidak akan membuat masyarakat tertarik melaporkan korupsi itu. Presiden harus memerintahkan jaksa dan polisi tidak mengabaikan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menjamin pelapor tak bisa dituntut balik. Selama ini, masih ada pelapor yang dituntut atas laporannya.

Tanpa revisi yang substansial, peraturan pemerintah itu tak ada gunanya bagi pemberantasan korupsi. Aturan itu justru memberikan kesan bahwa pemerintah hanya ingin mendapat citra baik untuk kepentingan elektoral semata.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

7 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

27 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

35 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

39 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

55 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

55 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya