Tengah Malam

Rabu, 17 Oktober 2018 11:00 WIB

Tiga cahaya putih terpantau terbang di atas langit Kota Greater Manchester, Inggris, pada Senin malam, 15 Oktober 2018. Mirror

SEKARANG dua menit menjelang tengah malam. Kiamat tak lama lagi. Menurut Doomsday Clock, pada 2018, dunia kian mendekati bencana besar: jarum merapat ke angka 24.00.

Kita tak lagi hidup di tahun 1991. Waktu itu jarum jam simbolik itu"yang dikelola pengurus Bulletin of the Atomic Scientists sejak 1947"berada pada menit ke-17 sebelum “tengah malam”. Cukup jauh. Waktu itu manusia merasa terlepas dari bahaya kehancuran bersama oleh perang nuklir. Amerika Serikat dan Uni Soviet, dua negara yang daya destruktifnya bisa meluluhlantakkan bumi dan manusia, akhirnya bersepakat mau menanggalkan senjata pamungkas itu.

Tapi kini keadaan berbalik. Dalam edisi Januari 2018, Bulletin of the Atomic Scientists mengumumkan, kita sedang kembali mendekati “tengah malam” yang mengerikan.

Generasi yang lahir setelah 1960-an tak bisa membayangkan rasa ngeri itu. Sejak bom atom dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima pada 1945, orang tahu bahwa senjata nuklir"berpuluh kali lebih ganas ketimbang dua bom yang mengalahkan Jepang itu"akan menghabisi Homo sapiens. Tapi yang menakutkan bukan hanya ledakannya yang membunuh ratusan juta, tapi juga yang menyusul: radiasi nuklir akan menyebar.

Film terkenal On the Beach (1959) menggambarkannya dengan muram. Alkisah, Perang Dunia III telah menghabisi sebagian besar bumi. Hanya di Australia sisa-sisa manusia mencoba saling menopang. Tapi pengharapan punah. Pemerintah membagikan pil bunuh diri agar penduduk bisa mati cepat, lebih baik ketimbang menderita sakit terkena radiasi yang merusak pelan-pelan.

Advertising
Advertising

“Siapa yang akan menyangka manusia begitu bodoh hingga meledakkan diri lenyap dari bumi?” kata John Osborne, tokoh ilmuwan dalam On the Beach.

Tapi kini bukan karena bodoh manusia menggerakkan kiamat. Bulletin of the Atomic Scientists memuat satu statemen bertanggal 25 Januari 2018. Para ilmuwan memperingatkan tiga hal yang menyeret manusia ke “tengah malam”. Pertama: perang nuklir yang ternyata tetap bisa meledak. Kedua: perubahan iklim. Ketiga: perkembangan teknologi yang tak terkendali.

Dalam ketiga hal itu, manusia tak bodoh. Ia serakah.

Pertama: perang nuklir. Bukan mustahil perang gila itu akan pecah antara India dan Pakistan. Kedua negeri itu berkali-kali menunjukkan bagaimana fanatisme agama berarti pembunuhan. Fanatisme: bentuk lain keserakahan"rakus ingin jadi pemegang monopoli kebenaran. Dalam keadaan demikian, siapa menjamin tak akan ada pemimpin Hindu atau Islam di sana yang tak akan menekan tombol nuklir, untuk menghabisi musuh dan masuk surga?

Kedua: perubahan iklim. Kita tahu ceritanya, bahkan tanpa menonton film An Inconvenient Truth. Kita tahu apa yang terjadi bila hutan ditebang, lahan hijau didesak, gunung dan lembah ditambang, sungai dan laut jadi tempat sampah. Orang makin berlomba melontarkan belerang dioksida (SO2) ke angkasa dari mobil dan sepeda motor yang makin bejibun. Lapisan ozon rusak, matahari seakan-akan langsung membakar; bumi kian terik. Menurut International Panel of Climate Change, kini udara lebih panas 1 derajat Celsius ketimbang 160 tahun yang lalu, dan itu sudah cukup membuat gunung es meleleh, permukaan laut naik, banjir makin melanda, dan kekeringan lebih sering. Angka 1 derajat itu akan segera naik. SO2 adalah indeks keserakahan kita, jalan pasti ke kiamat kita.

Bisa dilihat, keserakahan bukan cuma berlebihan mengkonsumsi dan memiliki. Keserakahan adalah sikap tak peduli efek buruk kelebihan konsumsi kita bagi orang lain. “Dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap orang, tapi tak akan cukup buat memenuhi kerakusan tiap orang,” kata Mahatma Gandhi, memperingatkan. Pada 1972 sebuah telaah The Club of Rome diterbitkan. The Limits to Growth menunjukkan terbatasnya sumber kehidupan bagi pertumbuhan ekonomi dunia dan malapetaka yang menanti.

Semua itu kini mungkin akan dicemooh Donald Trump. Orang Amerika, apa boleh buat, memilih seorang presiden yang menolak kesepakatan dunia untuk merawat lingkungan. Baginya, yang penting adalah “to make America great again”. Trump mengejek “nyanyian palsu globalisme”. Kejayaan Amerika (dan dirinya) itu bukan sekadar narsisisme, tapi juga sikap rakus yang merusak tatanan dunia.

Ketiga: teknologi. Mungkin ini bagian utama keserakahan modern. Heidegger, yang menganggap teknologi tidak identik dengan mesin, menunjukkan yang lebih mendasar pada manusia. Teknologi modern, kata Heidegger, mengungkapkan dunia dalam sikap menantang maju, Herausfordern. Alam ditaklukkan dan dijadikan cadangan untuk dipakai kapan saja manusia ingin.

Kiamat mungkin dimulai dari sana: rakus, cemas, jemawa. Ketika ditanya bagaimana manusia bisa bebas dari arah yang salah itu, Heidegger menjawab: hanya dewa-dewa yang bisa menolong.

Itu suara yang fatalistis. Tapi mungkin kita memang butuh sejenis dewa di bumi. Bukan yang mahakuasa, tapi yang berbisik: ada sesuatu yang lebih kuat ketimbang harapan"entah apa, yang membuat kita bisa ingat sesama.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

15 jam lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

30 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

42 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

58 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

58 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya