LANGKAH Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan soal pemberian penghargaan dan hadiah bagi pelapor kasus korupsi layak diapresiasi. Pemberian hadiah bagi whistleblower ini bisa mendorong masyarakat lebih peduli dan makin berani melaporkan kasus korupsi kepada penegak hukum.
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditandatangani Jokowi pada pertengahan September lalu. Mereka yang melaporkan kasus korupsi bisa mendapat premi sebesar 2 permil dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan atau maksimal Rp 200 juta. Sedangkan pelapor kasus suap menerima 2 permil dari nilai suap atau hasil lelang barang rampasan, dengan nilai maksimal Rp 10 juta.
Aturan ini memperbaiki ketentuan serupa yang dikeluarkan pada 2000, yang tidak mencantumkan jumlah maksimal yang bisa diperoleh para pelapor. Aturan baru memudahkan pelapor memberi kesaksian, misalnya bentuk laporan bisa disampaikan secara lisan. Pelapor pun tak harus menyertakan bukti permulaan.
Ketentuan anyar juga memberi waktu maksimal 30 hari kerja bagi penegak hukum untuk memeriksa laporan secara administratif dan substantif setelah mendapat informasi. Ini tentu diperlukan untuk menghindari laporan menjadi berdebu. Maka, sudah seharusnya penegak hukum menangani semua laporan yang masuk dengan lebih serius.
Melaporkan kasus korupsi bukanlah perkara mudah. Maka, apresiasi terhadap pelapor kasus korupsi pun merupakan hal lumrah. Tahun lalu, Malaysia membagikan 400 ribu ringgit atau sekitar Rp 1,3 miliar kepada 267 pegawai negeri yang berani membuka kasus korupsi dan penyuapan. Di Amerika, pelapor bisa mendapat 10-30 persen dari denda senilai US$ 1 juta atau lebih yang dijatuhkan pengadilan terhadap pelaku korupsi.
Tak cukup memberikan hadiah, pemerintah dan penegak hukum harus benar-benar menjamin keselamatan para pelapor. Tak sedikit "peniup peluit" yang mendapat ancaman atau dilaporkan balik dengan tuduhan mencemarkan nama. Lembaga Transparency International Indonesia mencatat, sejak 2004 hingga 2017, ada sekitar 100 ancaman terhadap pelapor korupsi. Padahal Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban sudah menegaskan bahwa korban, saksi, dan pelapor tak dapat dituntut atas keterangannya. Tuntutan hukum wajib ditunda hingga kasus yang dilaporkannya diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sudah berulang kali mengingatkan penegak hukum soal ketentuan tersebut. Tapi polisi dan kejaksaan kadang mengabaikannya. Presiden perlu menegaskan kembali kepada bawahannya ihwal kewajiban melindungi pelapor ini. Tanpa jaminan keselamatan, iming-iming hadiah menjadi tak berguna.