Korupsi atawa Risiko Bisnis

Penulis

Selasa, 2 Oktober 2018 07:00 WIB

PT Pertamina EP Asset 4 mencatatkan produksi gas sebesar 174,87 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) pada semester I tahun 2018. (Dok. Pertamina)

KERUGIAN investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia, sebesar Rp 568 miliar tidak cukup jadi alasan untuk menetapkan mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, sebagai tersangka korupsiapalagi menahannya seusai pemeriksaan pertama. Hanya jika terbukti ada penyimpangan dalam proses akuisisi 10 persen saham Roc Oil Company Ltd oleh Pertamina, barulah penetapan status tersangka terhadap Karen bisa dibenarkan.

Sampai saat ini, Karen berkeras bahwa keputusan Pertamina sembilan tahun lalu itu sudah dilakukan lewat prosedur yang seharusnya. Dia mengklaim sudah mengantongi dokumen uji kelayakan (due diligence) dan persetujuan Dewan Komisaris Pertamina. Sebaliknya, Kejaksaan Agung ngotot menuding proses pembelian saham senilai US$ 31,49 juta itu cacat prosedur. Keduanya tampak siap beradu bukti di meja hijau. Tentu publik berharap proses peradilan kelak berlangsung fair dan transparan, tanpa ditumpangi kepentingan siapa pun.

Lepas dari ada-tidaknya unsur korupsi dalam kasus ini, yang juga penting dicermati adalah tindakan Kejaksaan Agung mempidanakan keputusan korporasi di bisnis hulu Pertamina. Penting dipahami bahwa urusan eksplorasi dan eksploitasi di sektor minyak dan gas bumi penuh risiko. Itu sebabnya perusahaan multinasional yang berkompetisi di sektor ini rata-rata bermodal jumbo dan sudah terlatih mengambil risiko besar.

Itulah yang juga terjadi dalam kasus akuisisi Blok BMG. Ketika dibeli Pertamina, sumur minyak di Blok BMG diklaim bisa menghasilkan minimal 812 barel minyak mentah per hari. Nyatanya, setelah berjalan beberapa bulan, realisasi produksi Blok BMG mentok hanya 252 barel. Tiga tahun kemudian, Pertaminamelalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Energibahkan terpaksa melepas semua kepemilikan sahamnya di sana.

Apakah dengan demikian investasi Pertamina sebesar setengah triliun rupiah itu jadi sia-sia? Bisa jadi. Tapi apakah kerugian itu merupakan indikasi adanya tindak pidana korupsi? Itu yang harus ditelisik lebih lanjut. Inkompetensi dan miskalkulasi kerap memicu kerugian perusahaan. Tapi keduanya tidak serta-merta merupakan tindak korupsi. Jika ada keuntungan pribadi yang dinikmati Karen atau orang lain dari transaksi tersebut, barulah unsur korupsi bisa dinyatakan ada dalam perkara ini.

Advertising
Advertising

Kita bisa becermin pada pengalaman Petronas. Pada 2013, perusahaan migas milik pemerintah Malaysia itu mengakuisisi sumur gas Lapangan Kepodang dari perusahaan Inggris, BP. Blok itu terletak 180 kilometer dari bibir Pantai Semarang, Jawa Tengah. Setelah beroperasi dua tahun, terungkap bahwa produksi gas dari delapan sumur di sana tak sesuai dengan prediksi. Padahal Petronas sudah menjalin kontrak pemakaian pipa dengan PGN serta terikat kontrak penjualan gas dengan Perusahaan Listrik Negara sebesar 116 million standard cubic feet per day (MMSCFD) selama 12 tahun. Namun, apa daya, realisasi penyaluran selama ini hanya berada di kisaran 75-90 MMSCFD.

Kondisi itu jelas membuat Petronas wanprestasi. Dampaknya, PLN harus kalang-kabut mencari sumber gas baru untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Tambak Lorok, yang melayani listrik untuk seluruh Jawa Tengah. PGN juga terkena dampak karena pendapatannya dari sewa pipa yang seharusnya dipakai Petronas ikut melorot. Keduanya kini menggugat Petronas secara arbitrase dan menuntut ganti rugi. Pertanyaannya: apakah dengan demikian manajemen Petronas bisa dijerat pidana korupsi? Sepanjang tidak ada kongkalikong dan penyelewengan prosedur, tentulah kita harus mengatakan tidak.

Presiden Joko Widodo serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan harus duduk bersama dengan aparat penegak hukum: Kepala Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepala Kepolisian RI, dan Jaksa Agung. Ketiga lembaga selayaknya segera menyamakan persepsi soal bisnis hulu sektor migas. Kesamaan persepsi di level pemerintahan tertinggi akan membantu meningkatkan kepastian hukum bagi para profesional yang bekerja di badan usaha milik negara di sektor migas.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara sebagai pemegang saham Pertamina perlu memikirkan opsi keluar dari semua bisnis hulu migas. Badan usaha milik negara itu perlu berfokus melayani kepentingan publik di sektor hilir migas yang minim risiko. Ini penting karena, hingga akhir tahun lalu, Pertamina masih memiliki 12 aset investasi proyek hulu migas di luar negeridari Myanmar hingga Aljazair. Jika keputusan semacam itu tak diambil, negara bisa dihantui kerugian akibat ketidakpastian bisnis hulu migas. Para pemimpin Pertamina ke depan selamanya tak berani mengambil risiko karena cemas terhadap ancaman bui.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

26 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

34 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

38 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

53 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

54 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya