Belajar dari Krisis Turki

Rabu, 19 September 2018 07:30 WIB

Seorang karyawan money changer menghitung uang kertas Rupiah, di Jakarta, 15 Desember 2014. Rupiah Indonesia pada 15 Desember merosot ke tingkat terendah terhadap dolar sejak krisis keuangan Asia 16 tahun yang lalu, karena pasar negara berkembang terpukul seiring kemajuan perbaikan ekonomi Amerika Serikat. Adek Berry/AFP/Getty Images

Ronny P. Sasmita
Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional

Turki telah mengalami turbulensi ekonomi yang sangat menegangkan. Mata uang lira tercatat anjlok lebih dari 40 persen dibanding posisi dolar Amerika Serikat hingga Agustus lalu. Struktur perekonomian Turki memang sudah tidak sehat karena defisit neraca transaksi berjalan yang akut, ketergantungan yang semakin besar terhadap investor asing, dan menguatnya pengaruh kebijakan ekonomi Presiden Amerika Donald Trump serta sentimen politik Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang kian tak bersahabat.

Defisit transaksi berjalan Turki yang berkelanjutan menjadi titik sentral kelemahan perekonomiannya. Selama 2000-2017, total defisit transaksi berjalannya mencapai US$ 555,37 miliar. Celakanya lagi, pada periode yang sama, total defisit transaksi perdagangannya mencapai US$ 768,17 miliar. Dan, sepanjang tahun itu tidak ada transaksi perdagangan yang positif.

Turki harus memperoleh sumber pembiayaan lain. Maka, pinjaman asing pun otomatis kian besar. Jadi, sangat wajar jika volatilitas ekonominya juga menjadi sangat bergantung pada ekspektasi dan psikologi pasar dari para pendana asing. Sejak 1992 sampai hari ini, setidaknya Turki mempunyai utang terhadap orang asing senilai total defisit transaksi berjalannya, yaitu US$ 566,53 miliar. Bagi perekonomian sebesar Turki, yang pendapatan domestik brutonya pada 2017 masih US$ 852 miliar, posisi utang yang bersumber dari dana asing tersebut tentu sangat membebani.

Titik lemah perekonomian Turki ketiga adalah struktur sumber dana asing, yang digunakan untuk membiayai defisit transaksi berjalan, didominasi oleh dana panas berupa portofolio investasi, baik saham maupun obligasi pemerintah. Dana asing tersebut bersifat "segera dapat kembali" tatkala muncul sentimen negatif atas ekonomi Turki.

Advertising
Advertising

Hampir 80 persen dana panas tersebut ditanam dalam obligasi pemerintah Turki, yang notabene dana tersebut juga digunakan untuk pembiayaan operasional pemerintah Turki. Artinya, struktur ekonomi Turki selalu diwarnai dengan defisit kembar, yaitu defisit transaksi neraca berjalan dan defisit fiskal yang persisten dan akut. Keduanya adalah ciri dari suatu struktur ekonomi yang tidak sehat.

Masalahnya tentu akan semakin sulit tatkala defisit transaksi berjalan tersebut terus membesar di satu sisi dan aliran dana panas juga mulai keluar dari Turki di sisi yang lain. Eksodus uang panas tersebut masih berlanjut hingga batas waktu yang belum jelas, sampai terjadi kepanikan pasar uang berikutnya, setelah terjadi kepanikan pada 10 Agustus lalu.

Dengan defisit kembar yang terus melebar dan tingkat pengangguran yang mencapai 10 persen, wajar jika investor bereaksi negatif. Situasi bertambah parah setelah konflik politik Turki dengan Amerika menajam. Yield obligasi negara Turki melonjak hingga 22 persen dan selama tahun berjalan mata uang lira anjlok 45 persen. Walhasil, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini pun hanya sekitar 4,1 persen, terbilang rendah dibanding 2017 yang sebesar 7,4 persen.

Krisis ekonomi dan risiko gagal bayar obligasi Turki tentu berpotensi menekan ekonomi Eropa. Sumber Bank for International Settlement per kuartal pertama tahun ini mengungkapkan bahwa Spanyol memiliki exposure sekitar 36 persen surat berharga Turki, disusul Prancis (16 persen), Italia-Inggris-Amerika (masing-masing 8 persen), dan Jerman (6 persen).

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan asumsi perbankan Indonesia tidak memiliki exposure atas surat berharga Turki, dampak langsung krisis ekonomi Turki tentu relatif terbatas. Namun krisis Turki sangat berpengaruh pada perpanjangan siklus "dolar kuat" yang hanya bisa diredakan apabila ekonomi Eropa menguat, seperti yang terjadi selama 2017. Celakanya, krisis Turki justru membuat zona Eropa semakin rentan atas berbagai risiko perlambatan. Artinya, secara umum Indonesia akan turut terkena dampak risiko mata uang yang terkait dengan penguatan dolar, kemudian berlanjut dengan kian memburuknya sentimen terhadap negara berkembang.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya