Politisasi Peristiwa 27 Juli

Penulis

Senin, 30 Juli 2018 07:12 WIB

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebelum melakukan pertemuan tertutup di kediaman SBY, Jakarta, Selasa, 24 Juli 2018. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari komunikasi politik yang dibangun Partai Demokrat dan Gerindra menjelang Pilpres 2019. ANTARA

Bagi elite partai, berbagai tragedi berdarah di masa lalu tak lebih dari sekadar dagangan politik. Walau rezim berganti-ganti, tak ada satu pun di antara kasus-kasus itu yang diungkap tuntas. Begitu pula peristiwa penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia pada 27 Juli 1996.

Menjelang Pemilihan Umum 2019, peristiwa 22 tahun silam itu kembali ramai diperbincangkan. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto membawanya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pekan lalu. Ia menuduh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketika itu menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jaya Raya, berperan penting dalam peristiwa menjelang akhir kekuasaan Orde Baru tersebut. Menurut Hasto, tentara juga mengetahui persis penyerbuan di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, itu.

Tak dapat dibantah, pengaduan Hasto itu bermotif politik. Orang mudah saja menghubungkannya dengan berbagai komentar Yudhoyono tentang Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Silang kata di media massa muncul setelah Yudhoyono menyatakan partainya tak bisa berkoalisi dengan Presiden Joko Widodo karena terhalang penolakan Megawati. Hubungan keduanya memang tak pernah bisa dipulihkan sejak pemilihan presiden 2004. Dalam perseteruan politik ini, memanfaatkan peristiwa berdarah di masa lalu sungguh kelewat batas.

Kerusuhan 27 Juli masih menyisakan luka dan berderet pertanyaan. Tim investigasi Komnas HAM yang dipimpin Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa menyimpulkan adanya pelanggaran berat hak asasi manusia. Lima orang tewas, 149 orang terluka, dan 23 hilang. Lebih dari dua puluh tahun berjalan, tak satu pun hasil penyelidikan bisa mengungkap otak dan motif penyerbuan itu.

Kepolisian pernah menetapkan Sutiyoso, yang saat itu menjabat Panglima Kodam Jaya, sebagai tersangka. Namun penyidikan menguap di tengah jalan. Pemerintah terus saja gagal menuntaskan kasus ini. Jokowi bahkan mengangkat Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara.

Advertising
Advertising

Ketika menjadi presiden, Megawati juga tak berbuat banyak. Logikanya, ia dulu tak mungkin menggandeng Yudhoyono ke kabinet jika mengetahui sang jenderal terlibat peristiwa 27 Juli. Ternyata Yudhoyono ia angkat menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Pengadilan koneksitas tak pernah terbentuk. Keinginan menuntaskan peristiwa 27 Juli hanya menjadi pemanis bibir para politikus. Bahkan ketika PDI Perjuangan kembali berkuasa dengan menempatkan Presiden Joko Widodo sebagai presiden, penyelidikan berbagai kejahatan kemanusiaan itu tak pernah beranjak.

Jika serius, PDI Perjuangan bisa memanfaatkan posisinya sebagai partai penguasa untuk melanjutkan keputusan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka memiliki tangan kuat di eksekutif maupun legislatif. Dengan begitu, mereka tak akan dituduh memanfaatkan tragedi berdarah hanya untuk menekan lawan politik.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

30 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

42 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

57 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

58 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya