Presiden Joko Widodo memberi kelonggaran kepada anggota kabinetnya untuk melanggar etika. Alih-alih memerintahkan mundur, Jokowi hanya meminta para menteri mengambil cuti jika hendak berkompetisi menjadi anggota badan legislatif.
Menteri seharusnya mundur, bukan sekadar cuti. Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla akan kehilangan efektivitasnya jika para menteri sibuk mengamankan peluang masing-masing menuju Senayan pada pemilihan umum tahun depan. Akibatnya, publik pun dirugikan oleh banyaknya menteri yang meninggalkan pekerjaan untuk berkampanye.
Potensi pelanggaran etik oleh menteri ketika berkompetisi menjadi calon legislator sangatlah besar. Mereka berpeluang besar memanfaatkan jabatan, misalnya menggunakan fasilitas negara untuk merebut simpati para pemilih.
Berkaca pada menteri-menteri yang menjadi calon legislator di masa lalu, indikasi penggunaan fasilitas negara untuk berkampanye sangatlah besar. Ambil satu contoh, mereka pergi ke daerah pemilihan menggunakan fasilitas menteri. Pada malam harinya, dilanjutkan Sabtu dan Minggu, mereka menggunakan kesempatan untuk berkampanye. Trik-trik semacam ini mengakali keuangan negara untuk kepentingan pribadi.
Kemungkinan menteri menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi anak buah agar bekerja demi politik juga sangat terbuka. Apalagi jika jabatan penting pada suatu kementerian dari tingkat pusat hingga daerah dikuasai mereka yang dekat atau terafiliasi dengan partai asal sang menteri.
Benar, tak ada aturan yang melarang menteri menjadi calon legislator, baik dalam Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Kementerian, maupun dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum. Tapi menteri yang tetap aktif ketika menjadi calon anggota legislatif menyimpan persoalan dari sisi etik. Mereka cenderung memanfaatkan jabatan dan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan partai. Itulah sebabnya, menteri yang menjadi calon legislator seharusnya tak sekadar cuti, melainkan mesti mundur dari jabatannya.
Sayangnya, Presiden Jokowi telah memberi angin kepada menterinya untuk tak perlu mundur. Presiden hanya meminta mereka mengambil cuti jika hendak menjadi calon legislator. Proses pendaftaran calon anggota legislatif telah dibuka pekan lalu dan akan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada September nanti. Setelah itu, menteri yang menjadi calon legislator akan menjalani masa kampanye selama hampir tujuh bulan, sejak September tahun ini hingga April tahun depan.
Artinya, mereka tak lagi fokus bekerja untuk kementeriannya. Sebagian waktu akan mereka habiskan untuk berkampanye selama hampir tujuh bulan. Situasi ini lebih mencemaskan lagi karena, di antara 34 kementerian, 16 menterinya berasal dari partai.
Bila presiden memberi angin, bukan tak mungkin semua menteri dari partai akan menjadi calon legislator. Bisa dibayangkan menteri-menteri itu akan membagi waktu antara tugas kementerian dan partai. Kemampuan mereka mengurus kementerian dengan baik patut diragukan. Kinerja kabinet pun menjadi taruhan.