Seno Gumira Ajidarma
Panajournal.com
Jika filsuf dan praktisi politik seperti Niccolo Machiavelli (1469-1527) menulis drama komedi La Mandragola pada 1518, ketika dirinya terbuang sejak 1512 dari gelanggang politik, dan dipentaskan secara amatir oleh komunitasnya sendiri, Orti Oricellari, pada 1520 di Florence, seberapa sahihkah komedi itu menjadi representasi gagasan politiknya?
Tidak seperti buku pegangan penguasa Il Principe (Sang Pangeran), yang setelah ditulis pada 1513 tidak memberi hasil kepada Machiavelli jika dilihat dari tujuannya, yakni mengembalikan dirinya ke lingkungan kekuasaan Florence; justru sebaliknya dengan La Mandragola. Komedi ini memberi Machiavelli yang tidak tercapai oleh Il Principe, meski tidak sepenting pencapaiannya sebagai politikus dan diplomat sebelum ditangkap, dipenjarakan, dan disiksa.
Komedi itu mengolah lelucon maupun mitos sehari-hari tentang akar tanaman mandragola. Ceritanya, Callimaco diyakinkan oleh Ligurio, mantan comblang, bahwa ia bisa mengakali Nicia, seorang hakim dan suami tua, agar membolehkan Callimaco tidur dengan Lucrezia, istrinya yang muda jelita. Siasatnya adalah Callimaco menyamar sebagai dokter dan menawarkan Nicia, yang sangat menghendaki ahli waris, ramuan yang menjamin Lucrezia akan hamil.
Ramuan ini dibuat dari akar mandragola, tanaman yang biasanya dihubungkan dengan sakit dan kematian ketimbang kesuburan. Maka, dikatakan, siapa pun yang pertama kali tidur dengan Lucrezia setelah dia menelannya akan mati. Singkat cerita, Callimaco yang "dikorbankan". Ia bisa tidur dengan Lucrezia, yang ternyata tidak menelan ramuan itu. Dengan melibatkan ibu Lucrezia dan pendeta korup untuk meyakinkan Lucrezia bahwa ini cara terbaik memutuskan perkawinan yang direstui, tindakan ini diulang terus sampai Nicia meninggal (King, 2007: 184-5).
Inilah persekongkolan jahat yang moralnya disahkan agar Callimaco-Lucrezia bisa menikah dan bahagia. Tidakkah ini seperti Il Principe? Penguasa tidak perlu mengutamakan moralitas demi kepentingan banyak orang. La Mandragola memang satir untuk perilaku itu.
Teater politik? La Mandragola, yang berbahasa Italia, masih diterjemahkan ke berbagai bahasa, dimainkan sampai sekarang dan diangkat ke film. Artinya, komedi itu melampaui batas konteks zamannya. Jika dikatakan Machiavelli menggubahnya demi tujuan politis, yakni kepentingan dirinya sendiri, komedi itu telah bersikap kritis. Dalam pengertian ini, sebagai seni yang peduli politik, jadilah dia instrumen perubahan sosial dan perubahan politik.
Teater politik atau drama? Jika melihat cara orang membicarakannya, keduanya tidak sama. Yang pertama berusaha memanipulasi, yang kedua membongkar manipulasi sehari-hari. Gedung-gedung teater mesti penuh di Uni Soviet semasa Stalin. Itulah teater politik. Rezim totaliter sangat memerlukannya. Dengan begitu, krisis penonton akan merupakan penanda krisis politik dan sampai saatnya berkompromi dengan drama yang lebih populer (Esslin, 1995 [1977]: 100-1). Di Indonesia, proyek indoktrinasi Orde Baru adalah teater politik, yang sebetulnya terimbangi oleh teater Rendra sebagai katarsis. Ketika Rendra dilarang main drama maupun baca puisi, salah satu pemecah kesumpekan tertutup dan sejarah sudah menunjukkan akibatnya.
Segi apa kiranya dalam La Mandragola yang mengembalikannya ke percaturan politik? Sering dikatakan, La Mandragola adalah dramatisasi Il Principe. Francis Bacon berpendapat tentang kitab terakhir itu: "Kita berutang kepada Machiavelli dan penulis-penulis sejenis itu, yang secara terbuka dan tanpa topeng menyatakan apa yang dilakukan manusia sebagai fakta, dan bukan apa yang seharusnya mereka lakukan." (Barnet, Berman & Burto [peny.], 1958: 66).
Sebulan setelah pementasan pertama, pada Maret 1520, posisi Machiavelli dikukuhkan oleh Uskup Agung Florence Giulio de' Medici, meski perannya sebatas dikirim menagih utang seorang pedagang di Lucca, jauh dari pencapaiannya sebagai diplomat yang sudah empat kali bertemu dengan Raja Louis XII di Prancis (King, op.cit., 188-90). Mengungkap realisme politik dalam drama bolehlah dianggap sebagai cara Machiavelli berpolitik, selain menyingkap politik manusia sebagaimana disaksikannya.