Batalnya Superbody DPR

Penulis

Senin, 2 Juli 2018 07:00 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) Wimboh Santoso menggelar rapat kerja di Gedung DPR RI, 6 Februari 2018. TEMPO/Andita Rahma

Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan yang tepat untuk mencegah kesewenang-wenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga itu membatalkan tiga pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (MD3).

Ketiga pasal yang diuji materi ke Mahkamah Konstitusi itu membuat Dewan menjadi lembaga superbody. Undang-undang, antara lain, memberikan kewenangan kepada DPR untuk memanggil paksa setiap orang yang dianggap perlu guna dimintai keterangan dalam berbagai masalah yang dibahas Dewan, melalui bantuan kepolisian.

Pasal lain memuat ketentuan mengenai konsekuensi hukum penghinaan terhadap lembaga atau anggota Dewan. Di sisi lain, undang-undang melindungi anggota Dewan dari jerat hukum, misalnya dengan adanya kewajiban penegak hukum mendapatkan rekomendasi Majelis Kehormatan Dewan dan presiden ketika memanggil mereka yang terjerat perkara.

Pasal-pasal itu jelas berbahaya jika tidak dicabut. Aturan-aturan tersebut memberangus kritik terhadap lembaga dan para anggota badan legislatif. Pasal ini pun bisa menjadi "pasal karet" yang bisa menjerat siapa saja yang berseberangan pendapat, yang kemudian dianggap menghina atau merendahkan martabat anggota Dewan.

Pasal yang tak kalah berbahaya adalah ihwal pemanggilan paksa. Kewenangan DPR menjadi sangat besar dan bisa mengintervensi kinerja lembaga lain, termasuk penegak hukum. Pada saat yang sama, undang-undang itu mempersulit proses pemeriksaan anggota legislatif yang terjerat masalah hukum. Majelis Kehormatan Dewan bakal menjadi lembaga yang bisa menghalangi proses penegakan hukum. Alih-alih menegakkan kehormatannya, lembaga internal itu akan menjadi sarang perlindungan bagi para politikus Senayan.

Advertising
Advertising

Mahkamah Konstitusi sudah mengambil keputusan tepat. Putusan final dan mengikat itu membatalkan pelanggaran konstitusi oleh para anggota Dewan. Putusan itu semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan DPR dalam menyusun undang-undang. Kita tahu, pasal-pasal yang dibatalkan tersebut merupakan hasil kompromi kedua lembaga yang tidak didasari kepatuhan kepada Konstitusi.

Legislator selama ini juga sering mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi yang sebenarnya final dan mengikat. Aturan pemanggilan paksa, misalnya, sebenarnya telah dibatalkan oleh lembaga yang sama pada 2015. Namun, ketika banyak anggotanya terkena masalah, Dewan menutup mata dan memasukkan kembali klausul yang sama dalam Undang-Undang MD3.

Sejak 2003, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan 252 pasal berbagai undang-undang yang diuji materi. Jumlah itu tergolong cukup tinggi. Artinya, penyusun undang-undang-dalam hal ini Dewan dan pemerintah-tidak memperhatikan kesesuaian aturan yang disusunnya dengan Konstitusi.

Contoh paling nyata adalah pengesahan tiga pasal yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi itu. Ketika menyusun, Dewan mengabaikan keberatan rakyat yang diwakilinya. Pemerintah pun tidak bersikap tegas. Presiden ketika itu hanya menyatakan tidak menandatanganinya-sesuatu yang percuma, karena aturan juga menyatakan undang-undang otomatis berlaku 30 hari sejak Dewan mengesahkannya.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya