Miko Ginting
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Masuknya delik korupsi ke Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) selalu menuai polemik. Pada 2012, upaya itu sudah menuai penolakan. Dalam pembahasan pada 2015, upaya tersebut juga dipersoalkan.
Sayangnya, wacana yang berkembang sebatas apakah dengan dimasukkannya delik korupsi itu akan melemahkan pemberantasan korupsi atau tidak. Padahal persoalannya jauh lebih kompleks. RKUHP tidak hanya memasukkan delik korupsi, tapi juga delik lain, seperti terorisme, pelanggaran hak asasi manusia berat, dan narkotik. Tentu saja implikasinya berpengaruh pada karakteristik delik-delik itu, terutama tindak pidana korupsi.
Upaya memasukkan delik korupsi dalam RKUHP adalah konsekuensi dari pembaruan KUHP yang menggunakan model kodifikasi. Kodifikasi adalah pengkitaban ketentuan atau aturan hukum yang sejenis secara lengkap dan sistematis. Sistem kodifikasi yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham (Conway, 1988: 464) bertujuan mengatasi ketidakpastian hukum sekaligus mendorong kesatuan hukum. Bila diterapkan secara konsisten, semua ketentuan hukum yang sejenis dimasukkan ke satu kitab sekaligus mematikan semua ketentuan di luar kitab itu.
Model ini pada awalnya dirancang Tim Perumus RKUHP dengan memasukkan semua ketentuan pidana yang materiil, termasuk delik korupsi, ke RKUHP (Naskah Akademik RKUHP: 251). Namun kemudian diperkenalkan sistem kodifikasi terbuka, yang memungkinkan berlakunya ketentuan di dalam ataupun di luar RKUHP.
Tim Perumus mengajukan ketentuan peralihan sebagai solusi dimasukkannya delik tertentu. Pengecualian diberikan sepanjang tidak ditentukan lain menurut undang-undang di luar RKUHP. Mereka juga membuka klausul bahwa penanganan delik tertentu dijalankan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur undang-undang, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketentuan bercorak sama sudah diatur dalam KUHP. Dalam pelaksanaannya, misalnya, ketentuan KUHP berlaku untuk tindak pidana korupsi sepanjang Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) tidak mengatur secara berbeda. Hal ini dikenal dengan prinsip lex specialis derogat legi generali (hukum khusus mengesampingkan hukum umum).
Namun RKUHP muncul setelah UUTPK sudah berlaku. Ini membuat prinsip lex specialis derogat legi generali akan berbenturan dengan prinsip lex posterior derogat legi priori (hukum yang lebih baru mengesampingkan hukum lama). Maka ketentuan RKUHP akan mengesampingkan prinsip dan ketentuan dalam UUTPK.
Persoalannya, standar pengaturan RKUHP dan UUTPK berbeda. Misalnya, soal ancaman pidana terhadap delik korupsi dalam Buku II RKUHP. Di situ hanya terdapat 10 ketentuan dengan enam perbuatan yang diambil dari UUTPK dan empat perbuatan dari Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC).
Tidak masuknya semua perbuatan pidana itu terjadi karena RKUHP bersandar pada pembedaan kejahatan pokok (core crimes). Kriteria kejahatan pokok dipertanyakan karena ketiadaan pembenaran, setidaknya dari Naskah Akademik RKUHP.
Tim Perumus mendorong kodifikasi sebagai strategi konsolidasi hukum pidana. Upaya ini perlu diapresiasi meskipun konsolidasi tidak melulu harus melalui kodifikasi. Terdapat jalan lain, yaitu kompilasi hukum pidana yang juga bertujuan menyederhanakan pembacaan dan mendorong kepastian hukum.
Pemerintah dan parlemen seharusnya tidak terburu-buru dalam menyelesaikan RKUHP. Para pemangku kepentingan harus dilibatkan dan aspirasi mereka diakomodasi penuh.
Presiden Joko Widodo perlu mengambil beberapa langkah berikut ini secara cermat. Pertama, pemerintah mengeluarkan terjemahan resmi Wetboek van Strafrecht voor Indie, kitab hukum pidana Hindia Belanda yang menjadi KUHP. Kedua, pemerintah dan DPR perlu mengevaluasi KUHP dan mendorong amendemen terbatas ketimbang kodifikasi. Amendemen dilakukan dengan jaminan tidak akan mengganggu keberlakuan undang-undang lain. Ketiga, Presiden mengeluarkan kompilasi-kompilasi ketentuan pidana sejenis melalui peraturan presiden. Langkah ini akan mendorong penyederhanaan dan kepastian hukum tanpa berimplikasi pada undang-undang di luar KUHP.