Rancangan KUHP Mengancam Pemberantasan Korupsi

Selasa, 26 Juni 2018 07:42 WIB

Ketua KPK Agus Rahardjo (kedua kiri) bersama mantan pemimpin KPK, M. Jasin, Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Virgo Sulianto Gohardi, dan Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar (kanan) memberikan keterangan kepada awak media di gedung KPK, Jakarta, Selasa, 5 Juni 2018. Rencananya, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP akan disahkan saat HUT RI ke-73 pada 17 Agustus mendatang. TEMPO/Imam Sukamto

Rasamala Aritonang
Kepala Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK

Masuknya delik korupsi dalam bab tersendiri baru ditemukan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 2008 yang terdiri atas 10 pasal dan pada 2012 berubah menjadi 15 pasal. Eddy O.S. Hiariej pada kolom Kompas, 12 Juni lalu, menyebutkan rancangan saat ini hanya memasukkan lima delik korupsi. Perubahan jumlah delik korupsi ini sebenarnya menunjukkan lemahnya konsepsi kodifikasi RKUHP. Kodifikasi itu juga dapat berimplikasi negatif terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Setidaknya ada tujuh keberatan yang bisa dikemukakan. Pertama, tidak ada argumentasi yang mendasar untuk meyakini bahwa hukum pidana harus terkodifikasi dan kodifikasi hanya valid jika kejahatan asal (core crime) tindak pidana khusus disalin dalam rancangan seperti disampaikan tim pemerintah. Sebaliknya, substansi dan format legislasi seharusnya mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, mengingat tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat.

Kedua, konsep kejahatan asal dan kriterianya tidak pernah ditemukan dalam naskah akademik yang menjadi dasar penyusunan rancangan. Ketiga, apabila delik korupsi dipaksakan masuk, berbagai pengecualian harus dimasukkan pula demi memastikan Undang-Undang Nomor Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) tetap berlaku dengan berbagai kekhususannya. Kesulitan ini dapat dihindari jika delik korupsi diatur seluruhnya dalam satu UUTPK.Keempat, UUTPK telah

menegaskan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Konsekuensinya, kejahatan korupsi harus ditangani dengan perlakuan khusus yang berbeda dari kejahatan pada umumnya. Eddy O.S. Hiariej bahkan menegaskan, "Logikanya, nanti kalau masuk KUHP, kejahatan korupsi akan setara dengan orang mencuri ayam…. Dengan dimasukkannya kejahatan korupsi ke dalam KUHP akan mengancam eksistensi KPK karena keberadaan lembaga ini cenderung tidak lagi diperlukan" (Hukumonline.com, 10 Oktober 2013).

Advertising
Advertising

Kelima, pendekatan retributif masih digunakan dalam UUTPK, yakni pelaku korupsi diancam sanksi pidana penjara yang berat, selain denda dan pembayaran uang pengganti. Bahkan, hukuman mati dapat diterapkan dalam keadaan tertentu. Hal ini berbeda dengan RKUHP yang meletakkan pidana penjara sebagai upaya terakhir. Misalkan, Pasal 76 ayat (1) RKUHP menyatakan, pidana penjara tidak dijatuhkan jika terdakwa berusia di bawah 18 tahun atau di atas 75 tahun, terdakwa pertama kali melakukan tindak pidana, dan terdakwa telah membayar kerugian.

Ketentuan lainnya, Pasal 63 RKUHP ayat (2), menyatakan, bila pidana pokok dijatuhkan kumulatif, maksimum pidana pokok adalah setengah dari ancaman pidananya. Seandainya ketentuan ini diterapkan terhadap Pasal 2 UUTPK, maksimum hukuman pidananya turun menjadi 10 tahun dan denda Rp 500 juta. Demikian pula delik pemufakatan jahat dan pembantuan dalam RKUHP hanya dikenai sepertiga dari pidana penjara yang diancamkan dan percobaan dua pertiga. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 15 UUTPK yang ancamannya penuh.

Keenam, meskipun Pasal 205 RKUHP mengakui ketentuan pidana khusus, ketentuan Pasal 723 menegaskan bahwa dalam jangka waktu satu tahun setelah RKUHP berlaku, Buku I RKUHP menjadi dasar bagi ketentuan pidana di luar RKUHP. Jika demikian, kekhususan dalam UUTPK hanya berlaku satu tahun setelah RKUHP berlaku dan selanjutnya harus menggunakan ketentuan Buku I RKUHP. Lagi pula dalam hukum pidana juga berlaku asas lex posterior derogat legi priori (aturan baru mengesampingkan aturan terdahulu).

Ketujuh, Pasal 729 RKUHP adalah satu-satunya pasal yang dianggap memberi kewenangan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Idealnya, substansi tersebut diatur dalam hukum acara, bukan KUHP. Pasal itu juga tidak serta-merta memberi kewenangan bagi KPK untuk menangani korupsi karena kewenangan tersebut masih harus dilihat dalam Undang-Undang KPK, yang eksplisit menyebutkan KPK hanya menangani tindak pidana korupsi dalam UUTPK. Pasal 729 rentan untuk diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi. Bayangkan, jika Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut, praktis KPK harus berhenti menangani perkara korupsi. Kalau itu terjadi, reformasi dicederai dan tentu saja koruptor yang diuntungkan.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

16 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

25 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

46 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

54 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

58 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya