Dawam

Selasa, 5 Juni 2018 07:15 WIB

Sejumlah Pasukan TNI mengangkat peti Dawam Rahardjo jelang dimakamkan di Taman makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis, 31 Mei 2018. Tempo/Fakhri Hermansyah

Dawam tumbuh dari sebuah generasi yang beruntung, meskipun tak dengan sendirinya berbahagia. Beruntung karena-lebih dari generasi yang kini disebut milenial-ia sempat menyaksikan dan terlibat dalam sebuah masa ketika ide tidak cuma berbicara di kepala, tapi diuji dalam pengalaman dan memberi makna kepada hidup.

Tapi tak dengan sendirinya berbahagia. Ketika ide bertaut dengan tindakan untuk masa depan sebuah "tanah tumpah darah", banyak kerja yang harus dilakukan, juga banyak kepedihan yang terjadi dan cita-cita bersama yang tak sampai.

Saya bertemu dengan Dawam pertama kali di tahun 1967. Ia lulusan fakultas ekonomi, tapi segera tampak ia bukan cuma itu. Ia membaca, menulis, mencari.

Di akhir tahun 1960-an itu ia menerjemahkan untuk majalah sastra Horison satu fragmen karya sastrawan besar Yunani, Nikos Kazantzakis, The Last Temptation of Christ. Kazantzakis dikecam para padri Gereja Ortodoks, tapi ia tak peduli: ia melihat dirinya "religius".

Saya tak tahu adakah bekas Kazantzakis pada Dawam dalam memandang doktrin agama. Mungkin ada. Kelak ia, tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), berani menyimpang dari prasangka umum: ia bela kaum Syiah dan Ahmadiyah ketika minoritas ini diserang golongan Islam yang memegang hegemoni doktrin. Tampaknya, bagi Dawam, ICMI, meskipun didirikan dengan restu Soeharto, bukan sebuah proyek politik, melainkan ikhtiar merapatkan Islam dengan kecendekiawanan. Bagi Dawam, seorang intelektual publik tidak cuma cerdas, tapi juga punya empati kepada mereka yang disingkirkan.

Advertising
Advertising

Saya tak tahu apakah sikap ini mengejutkan. Dawam dibesarkan di lingkungan yang dalam kategorisasi sosial Kota Sala, tempat lahirnya, disebut "santri". Ia tumbuh di kalangan saudagar yang akrab dengan gerakan Muhammadiyah, yang semangatnya mengutamakan "kemurnian" ajaran. Agaknya Dawam remaja seorang anggota Pelajar Islam Indonesia (PII). Di masa SMA, ia belajar di Amerika Serikat dalam program AFS (pertukaran siswa yang disponsori Kementerian Luar Negeri AS), kesempatan yang waktu itu umumnya diberikan kepada anggota PII-tanda betapa dekatnya Amerika, dalam menghadapi komunisme, dengan organisasi-organisasi Islam. Tapi dengan latar itu pula tampak Dawam tanpa canggung membuka pikirannya, menjelajahi ide-ide, melintasi sekat ideologi.

"Ideologi" kata yang sakti di percakapan sosial masa muda Dawam. Ini zaman "Perang Dingin": di satu kubu, bergerak kekuatan yang dipimpin Amerika Serikat; di kubu lain, dipimpin Uni Soviet-yang sering dibaca sebagai pergulatan antara komunisme dan antikomunisme.

Dunia dicekam rasa takut. Perang nuklir sewaktu-waktu bisa meletus dan bumi hancur. Juga ada rasa cemas kehidupan akan berubah secara radikal oleh ide-ide: mungkin komunisme, mungkin sosialisme dalam pelbagai variannya, mungkin "liberalisme" yang tak persis garisnya. "Perang Dingin" juga perang sengit wacana, melalui buku, majalah, film, seni rupa, seminar, kongres-kongres.

Waktu itu tak tampak ketegangan itu akan berakhir. Tak disangka pada 1989 Uni Soviet runtuh tanpa dibom, dan komunisme dicampakkan dari Kremlin, dan negeri itu dilahirkan jadi Rusia, tanpa ideologi. Sebelum 1989, dunia dihantui perang setengah terbatas. Korea pecah (sampai sekarang), juga Vietnam dan Tiongkok. Rezim jatuh-bangun di dunia Arab, di Eropa Timur, di Amerika Latin.

Pada masa itu, melalui akhir 1950-an, Dawam dan generasinya hidup dengan latar yang gemuruh dan mendebarkan itu. Partai Komunis kian menguat, kian dominan; Amerika gagal mendukung kekuatan antikomunis, terutama dalam gerakan PRRI dan Permesta yang dipelopori militer. Marxisme dan ide sosialisme jadi wacana utama: di bawah "Demokrasi Terpimpin" Bung Karno, program "indoktrinasi" wajib, dan Marxisme salah satu dari "tujuh bahan pokok".

Marxisme punya daya pikatnya sendiri. Saya tak tahu sejauh mana Dawam tertarik padanya, tapi ia pasti tak asing dengan itu: di kalangan organisasi Islam waktu itu, tak semua menganggap Marxisme racun. Saya kenal seorang sahabat Dawam satu kota, seorang tokoh HMI, yang membaca tekun buku pemimpin Partai Komunis Tiongkok dalam versi Inggris, How to Be a Good Communist.

Saya ingat Althusser: ideologi adalah proses sosial yang menyeru individu dan mengubahnya jadi subyek-satu proses "interpelasi". Tapi ideologi juga instrumen pengendalian kesadaran dan mobilisasi massal-alat yang membuat kehidupan yang rumit jadi terlalu sederhana diuraikan. Subyek yang ditumbuhkannya tak melihat bahwa kehidupan ("realitas") terdiri atas tanda-tanda yang ditafsirkan. Dan tafsir adalah proses kebenaran yang tak selesai. Mengklaim tafsir sudah usai sama dengan membangun kesadaran palsu.

Agama punya kemungkinan seperti itu, ketika iman berubah jadi ideologi. Saya lihat Dawam termasuk yang berusaha mencegahnya. Ia ditempa zaman ideologi, ia sadar akan kekuatan ide-ide di dalamnya, tapi ia tahu ide datang dari wilayah simbolik yang harus ditafsir terus. Ia seorang muslim yang tak kehilangan kepercayaan kepada kemerdekaan manusia.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

24 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

36 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

51 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya