Stop Persekusi Minoritas

Penulis

Senin, 28 Mei 2018 16:47 WIB

Garis polisi menutupi pintu markas Ahmadiyah di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat, 3 Juni 2017. Petugas Kepolisian melakukan penyegelan kembali dan penyelidikan terkait perusakan segel markas Ahmadiyah oleh oknum Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). TEMPO/Subekti

Runyam betul kondisi bangsa ini dalam urusan menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Konstitusi kita sudah jelas-jelas menjamin kemerdekaan penduduk dalam memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, tapi persekusi terus-menerus terjadi terhadap kalangan minoritas. Penyerangan atas warga Ahmadiyah di Lombok Timur dua pekan lalu menunjukkan ketidakberdayaan negara dalam melindungi kebebasan mendasar tersebut.

Yang lebih memprihatinkan adalah fakta bahwa kekerasan atas komunitas Ahmadiyah di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, sudah terjadi tiga kali. Sungguh ironis, ketika kita memperingati 20 tahun gerakan reformasi, delapan rumah warga Ahmadiyah di Sakra Timur, Lombok Timur, diobrak-abrik dan beberapa sepeda motor dirusak. Selama penyerangan berlangsung, 21 ibu dan anak-anak di sana dicekam ketakutan.

Kekerasan semacam itu tak hanya terjadi pada kaum Ahmadiyah. Penyerangan terhadap kelompok minoritas sudah terjadi beratus kali di negeri ini. Organisasi nonpemerintah, Setara Institute, mencatat ada 155 kasus intoleransi di 29 provinsi dalam sepuluh tahun terakhir. Mayoritas kasus intoleransi terkait dengan penodaan agama dengan warga Ahmadiyah dan Syiah menjadi komunitas yang paling sering menjadi korban.

Dalam setiap insiden persekusi, selalu korban yang ketiban kerepotan. Mereka harus menghuni tempat-tempat penampungan dengan kualitas hidup yang lebih rendah dari semula. Jikapun ingin kembali ke rumah, mereka dipaksa memenuhi syarat yang diminta kelompok radikal yang menyerang mereka. Sedangkan para pelaku hampir tak pernah tersentuh hukum.

Biang keladi tumpulnya hukum dalam kasus-kasus ini adalah masih diterapkannya soal penodaan agama dalam Pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta norma Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal-pasal itu memberikan kewenangan kepada negara untuk memonopoli tafsir terhadap ajaran agama dan menetapkan mana ajaran yang "benar" dan mana yang "menyimpang".

Advertising
Advertising

Tengok saja Pasal 1 Undang-Undang Penodaan Agama. Pasal ini selalu dijadikan dasar untuk menghukum kelompok yang dinilai berbeda dengan mayoritas. Kelompok minoritas selalu menjadi korban diskriminasi karena dianggap lancang melakukan penafsiran atas agama, yang berbeda dengan penafsiran kelompok mayoritas. Buntutnya, yang terjadi bukan hanya penghakiman terhadap urusan keyakinan, melainkan juga perampasan hak sosial, hak politik, dan hak hidup kelompok yang berbeda.

Upaya mengubah aturan ini sudah dicoba di Mahkamah Konstitusi pada 2013, tapi kandas. Sekalipun Mahkamah menyatakan undang-undang tersebut masih diperlukan, para hakim konstitusi meminta pasal-pasalnya disempurnakan agar tidak menjadi senjata persekusi atas minoritas. Namun, bukannya merevisi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat justru memperluas pasal itu dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kekerasan atas kaum minoritas jelas bertentangan dengan semangat Pancasila dan konstitusi. Ketidakmampuan kita mencegahnya adalah awal berkembangnya intoleransi dan radikalisme. Jika kecenderungan ini dibiarkan, adagium yang sejak dulu kita banggakan, yakni "bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran", harus dilupakan dan dikubur dalam-dalam.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

28 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

40 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

56 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya