Surga

Selasa, 22 Mei 2018 07:10 WIB

Anak-anak Palestinina di depan Dome of the Rock di kota tua Yerusalem, pada Oktober 2014. Kota Yerusalem menjadi tempat bagi rumah ibadah Muslim, Yahudi dan Kristen. REUTERS/Ammar Awad

Chairil Anwar tak akan meledakkan diri dengan bom untuk ke surga. Penyair ini, dengan mata berkedip-kedip nakal (begitulah saya bayangkan), menuliskan keraguannya tentang anugerah di akhirat itu-janji firdaus yang menggiurkan:

Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu


Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya
kerlingnya Yati?


Sajak ini sebuah gugatan yang "nekat mencemooh": mana mungkin surga lebih mengasyikkan ketimbang kehidupan di dunia yang tiap kali menawarkan kenikmatan ("gamitan dari tiap pelabuhan")? Islam mewartakan, di kehidupan setelah mati ada hadiah bagi orang yang saleh, ada tempat yang "bersungai susu" yang menawarkan sejumlah besar bidadari ("bidari beribu"). Tapi bukankah lebih pasti perempuan yang ada di bumi: Nina dengan suara serak-serak basah, Yati yang memikat dengan kerling matanya?
Penampikan Chairil tak sendirian. Sikap ini punya sejarah yang panjang-bahkan lebih panjang ketimbang riwayat agama-agama yang kini ada.
Di India, sekitar 600 tahun sebelum Masehi, berkembang ajaran Charvaka, yang meyakini tak ada paraloka, kehidupan setelah mati. Dalam Sarvasiddhanta Samgraha dikatakan bagaimana ajaran itu bersikap:


Tak ada dunia lain selain yang ini
Tak ada surga dan neraka
Wilayah kekuasaan Shiva dan yang serupa,
Hanya buatan penipu yang nista

Pandangan ala Charvaka ini bahkan sebelumnya tampak dalam sebuah adegan Ramayana yang ditulis Walmiki. Kita ingat, Rama memutuskan pergi meninggalkan Ayodya, ibu kota kerajaan, selama 14 tahun. Ia masuk hutan. Ia lakukan ini untuk menjaga kehormatan ayahnya yang sudah berjanji kepada istri kesayangannya, Kekayi, bahwa Rama, sang putra mahkota, tak akan naik takhta. Dengan ikhlas Rama bersedia; baginya itulah dharma, kewajiban sejati.

Advertising
Advertising

Tapi dalam Ayodya Kanda, ada Jabali, seorang penasihat raja, yang tak setuju. Bagi Jabali, orang yang meninggalkan artha, kenikmatan jasmani, demi dharma, sebenarnya merayakan kesengsaraan dengan ilusi bahwa akan ada hidup nikmat setelah mati. Kata-katanya menggemakan keyakinan Charvaka: "Tak ada apa pun setelah alam semesta ini.... Dahulukanlah apa yang tertangkap mata Tuan, dan berpalinglah dari apa yang melampaui pengetahuan."

Dari teks itu Jabali tampak sebagai seorang oportunis yang mudah membelokkan prinsip untuk memperoleh kenikmatan. Tapi Ayodya Kanda tentu meletakkan Rama di pemujaan-dan menghindari kemungkinan bahwa ada sesuatu yang benar dalam nasihat Jabali: tindakan Rama sebenarnya egoistis. Ia membuang diri di hutan agar "tetap murni dalam jasad dan jiwa". Putra mahkota itu tak mempertimbangkan perannya bagi orang banyak di Ayodya. Justru Jabali yang mungkin melihat bahwa akan lebih baik jika Rama mengurus pemerintahan, bukannya menjaga janji ayahnya, Dasarata, yang telah wafat. Yang mati tak bertaut lagi dengan yang hidup.

Dalam adegan itu Jabali juga mengecam shraddha, ritual yang mempersembahkan makanan kepada arwah nenek moyang. Baginya, lebih baik makanan itu diberikan kepada mereka yang bepergian jauh ketimbang kepada orang yang sudah tak ada lagi hanya karena mereka sanak keluarga.

Rama menolak Jabali, dengan kata-kata keras. Jabali mengalah.

Bagi saya, adegan ini menunjukkan betapa sulitnya pandangan "materialis" (bhtavâda) bertahan dalam sejarah percaturan filsafat India-dan tiap filsafat yang dipengaruhi agama, di mana saja. Charvaka, yang juga disebut Lokayata, pada akhirnya terisolasi, ketika peran agama naik. Paham itu digambarkan sebagai hanya mementingkan dunia, sikap hedonis yang mengutamakan kenikmatan hari ini-seperti sajak Chairil yang menyangsikan surga karena ada Nina dan Yati yang bisa langsung disentuh.

Tapi tak jelas, adakah gambaran negatif tentang kaum "materialis" dan "atheis" sekian abad sebelum Masehi itu akurat. Sikap menampik Tuhan, sang pencipta pertama, punya akar yang dalam di India-satu hal yang menunjukkan ada nilai yang universal dalam sikap itu. Apalagi atheisme juga dikenal di Yunani, sebagaimana dipaparkan Tim Whitmarsh dalam Battling the Gods: Atheism in the Ancient World. Protagoras, misalnya, di abad ke-5 sebelum Masehi, menulis, "Aku tak tahu benarkah dewa-dewa ada."

Tapi agama dipertahankan di Yunani Kuno, sebagaimana di India lama-dan juga di abad ini-sebagai perawat keutuhan sosial, pembentuk konsensus tentang nilai-nilai. Tak mengherankan bila para penjaga agama dan kekuasaan politik mencoba membisukan suara yang tak sepakat. Dalam Ayodya Kanda, Rama mengancam orang atheis dengan menganggapnya setaraf pencuri. Di Yunani abad ke-5 sebelum Masehi, Anaxagoras diseret karena dianggap "melanggar kesalehan".

Tapi manusia tak pernah ajek dan pasti-dan agama pun jadi defensif. Ia terus-menerus perlu penegakan disiplin; ia susun sistem rewards and punishment, hadiah surga dan ancaman neraka.

Tapi ada yang hilang dalam eskatologi itu: agama jadi perilaku yang pamrih, yang kini dicerminkan dalam ajaran jihadi yang bunuh diri dan menghancurkan orang lain agar segera masuk surga. Kaum sufi melihat yang hilang itu. Terkenal kata-kata Rabia al-Adawiya yang dikutip Farid al-Din Attar: "Akan kupadamkan api neraka, dan kubakar hadiah surga. Mereka menghalangi jalan ke Allah." Ia bersujud akrab kepada Tuhan sepenuhnya karena cinta.

Rabia tentu tak menulis sajak seperti "Sorga", tapi saya kira Chairil akan menyukainya.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya