Bersihkan Pilkada dari Korupsi

Penulis

Selasa, 8 Mei 2018 07:15 WIB

Sejumlah pemuda dan pemudi yang tergabung dalam Perhimpunan Persatuan Aksi Solidaritas Untuk Transparansi dan Indepedensi Indonesia (PASTI Indonesia) melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, 19 Desember 2016. Mereka mendesak KPK untuk segera mengusut kasus kejahatan korupsi yang diduga melibatkan sejumlah pejabat yang mencalonkan diri pada Pilkada serentak pada 2017 mendatang. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Menjelang hari pencoblosan pemilihan kepala daerah serentak pada akhir Juni mendatang, wabah korupsi demi meraup dana kampanye ternyata tak kunjung surut. Pada Jumat pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap politikus Partai Demokrat, Amin Santono, ketika menerima suap Rp 400 juta, yang kabarnya akan dipakai untuk membiayai kampanye anaknya, calon Wakil Bupati Kuningan, Jawa Barat.

Modus korupsi yang dilakukan Amin sebenarnya tak orisinal. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu menjual janji surga: persetujuan Senayan terhadap anggaran dua proyek Dinas Perumahan dan Dinas Pekerjaan Umum di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, yang nilai totalnya di atas Rp 20 miliar. Untuk jasa itu, Amin meminta sogokan Rp 1,7 miliar. Padahal anggaran perubahan untuk proyek itu belum dibahas di DPR.

Motif korupsi Amin pun tak baru. Publik sampai bosan mendengar berita tentang politikus yang merampok uang negara untuk kepentingan kampanye menjelang pemilu atau pilkada. Sepuluh tahun terakhir, rata-rata satu politikus ditangkap KPK setiap bulan. Sejak 2008, total sudah lebih dari 132 anggota DPR dan dewan perwakilan rakyat daerah dijebloskan ke penjara oleh KPK.

Walhasil, korelasi antara tingginya biaya politik pemilu maupun pilkada dan perilaku korup wakil rakyat sulit dibantah. Meski pada 2014 Mahkamah Konstitusi sudah mengurangi kewenangan DPR dalam pembahasan anggaran, penyakit para politikus di Senayan tak kunjung sembuh. Ancaman hukuman sampai 20 tahun penjara dan denda hingga miliaran rupiah tak membuat mereka jeri.

Karena itu, perlu dipikirkan solusi lain agar modus dan motif korupsi ala Amin Santono ini tak berulang terus. Upaya mengurangi biaya politik kandidat yang bertarung dalam pemilu dan pilkada harus terus dilakukan. Iklan kampanye, misalnya, kini sudah dibatasi oleh Komisi Pemilihan Umum. Metode pengerahan massa dan arak-arakan dalam kampanye pun sudah dilarang. Namun semua itu tampaknya belum cukup untuk mengurangi biaya kampanye para calon secara signifikan.

Advertising
Advertising

Komponen utama biaya kampanye yang kerap dikeluhkan politikus secara diam-diam adalah mahalnya harga suara setiap pemilih. Bentuknya bisa berupa "serangan fajar", pembagian bahan pokok, juga pembangunan sarana dan prasarana di daerah basis konstituen. Kandidat kerap jorjoran menghamburkan uang-secara legal maupun ilegal-untuk merebut hati pemilih.

Untuk membersihkan pilkada dari korupsi, pola relasi transaksional antara pemilih dan politikus harus diubah. Solusinya tentu bukan menghapus pemilihan langsung dan mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Pelibatan warga secara lebih substansial dalam berbagai keputusan politik yang menyangkut hajat hidup mereka, termasuk dalam soal anggaran, bisa menjadi kunci untuk mengubah pola relasi itu.

Jika rakyat benar-benar berdaulat, politikus tak perlu repot-repot membeli suara untuk memenangi pilkada. Mereka yang benar-benar bekerja demi kepentingan publik akan didukung dengan sendirinya.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya