KESEDIAAN Prabowo Subianto menjadi calon presiden dari Partai Gerindra bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, deklarasi itu mengoyak luka yang belum sembuh: Prabowo bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, termasuk penculikan aktivis 1998.
Kedua, betapapun kontroversialnya, Prabowo memiliki hak politik dengan kesempatan yang tak kecil. Ia pun memimpin Gerindra, partai pemenang ketiga Pemilihan Umum Legislatif 2014. Menurut sejumlah survei, elektabilitas Prabowo berada pada urutan kedua, setelah Presiden Joko Widodo. Saat ini, selain inkumben, hanya Prabowo yang sudah menyatakan bersedia menjadi calon presiden.
Karena itu, informasi yang menyebutkan Jokowi berupaya merangkul Prabowo sebagai kandidat wakil presidennya patut dicermati. Disampaikan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy, rencana itu disiapkan untuk mencegah perpecahan masyarakat seperti pada Pemilu 2014. Ketika itu, publik terbelah dua: pro-Jokowi dan pro-Prabowo. Isu suku, agama, dan ras berhamburan. Kejadian yang sama terulang pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tiga tahun kemudian.
Saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, yang didukung antara lain oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan-partai penyokong Jokowi-berhadapan dengan Anies Baswedan, yang disokong Prabowo. Pada Pemilu 2019, sebanyak 320 ribu calon anggota legislatif juga akan berlaga mencari pemilih. Posisi diametral Jokowi dan Prabowo diduga akan memanaskan suasana hingga ke lapangan kampanye calon anggota legislatif.
Pendekatan Jokowi terhadap lawan politiknya memunculkan spekulasi bahwa Prabowo tak sungguh-sungguh mengajukan diri sebagai calon presiden. Deklarasinya dua pekan lalu dianggap hanya upaya menjaga soliditas partai. Seperti Partai Demokrat, Gerindra merupakan partai tokoh-partai yang hidup-matinya ditentukan ketua umum.
Di luar itu, ada alasan lain yang membuat Prabowo gamang. Di antaranya persoalan logistik: dibanding empat tahun lalu, saat ini ia dipercaya tak lagi punya banyak modal. Faktor lain: Prabowo tak bisa maju sendiri. Menduduki 13 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat dan hanya mendapat 11,8 persen suara dalam Pemilu 2014, Gerindra tak bisa sendirian mengusung calon presiden. Partai lain yang dianggap potensial mendukung Prabowo adalah Partai Keadilan Sejahtera, yang hingga kini belum memberikan kepastian.
Persekutuan Jokowi-Prabowo mungkin terkesan baik, yakni dapat mengatasi benturan di masyarakat dan menyelesaikan problem Prabowo yang sedang kesulitan mencari kawan seiring. Perkawinan itu juga bisa menghemat biaya politik. Tanpa lawan tanding, hampir tak ada biaya yang harus dikeluarkan. Namun, jika benar terjadi, persekutuan itu merupakan awal dari tragedi demokrasi.
Pemerintah, bagaimanapun, harus dikontrol kekuatan oposisi. Checks and balances tak akan terjadi jika pihak yang semestinya berseberangan menjadi satu kubu. Poros ketiga kecil kemungkinan bisa terbentuk karena koalisi Jokowi-Prabowo telah merangkul sebagian besar partai. Skenario terburuk dalam pemilu: pasangan Jokowi-Prabowo akan melawan kotak kosong.
Akar dari segala kemelut adalah presidential threshold. Aturan ini hanya mengizinkan partai politik atau gabungan partai politik dengan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kandidat alternatif sulit ditemukan. Demokrasi telah dibajak segelintir oligarch dan terjebak menjadi hanya bersifat prosedural, bukan substansial. Mumpung masih jauh hari, Jokowi hendaknya membuang jauhjauh rencana persekutuan itu. Dipilih orang ramai dalam pemilu empat tahun lalu, ia selayaknya menyadari bahwa menjaga demokrasi merupakan mandat yang harus diemban. Mempertahankan kekuasaan tentu tak ada salahnya. Tapi, seyogianya, niat itu dilakukan dengan tetap memperkuat demokrasi.
Harapan yang sama ditujukan kepada Prabowo. Ia harus membuang jauh-jauh pikiran untuk sekadar memperoleh takhta. Ia memang telah kalah dalam dua pemilu-dengan beban moral dan material yang tak kecil. Tapi segala "jerih-payah"-nya akan sia-sia jika ia hanya mementingkan diri sendiri. Prabowo justru akan dikenang sejarah jika ia menjaga demokrasi meski untuk itu ia harus kehilangan kesempatan masuk lingkaran kekuasaan secara instan.
Jika tak yakin bisa memenangi pertarungan, Prabowo bisa mengikuti sejumlah nasihat: mendukung kandidat lain dan masuk kekuasaan sebagai "dalang". Dalam pemilu, calon yang disokongnya bisa menang atau kalah. Adapun Prabowo akan dikenang sebagai seorang demokrat.