Kisruh Pengelolaan Air Jakarta

Penulis

Selasa, 17 April 2018 07:30 WIB

Sejumlah petugas PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA), operator penyediaan dan pelayanan air bersih saat memperbaiki pipa pecah di jalan Inpeksi, Jakarta, 28 April 2016. Hingga akhir 2015, cakupan pelayanan PAM Jaya di Jakarta baru mencapai 60 persen dari luas wilayah. Tempo/ Aditia Noviansyah

Pemerintah DKI Jakarta seharusnya menghentikan kerja sama pengelolaan air dengan pihak swasta. Pemerintah tak boleh mengabaikan putusan Mahkamah Agung pada 10 April 2017, yang mengamarkan penghentian kebijakan penswastaan air serta pengembalian pengelolaan air minum di Ibu Kota kepada PAM Jaya.

Alih-alih menjalankan putusan itu, PAM Jaya justru merestrukturisasi perjanjian kerja sama dengan dua mitra swastanya, yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra). Jika kontrak kerja sama baru disepakati, Palyja dan Aetra masih akan merawat serta mengoperasikan instalasi pengelolaan air hingga kerja sama berakhir pada 2023.

PAM Jaya berdalih putusan MA tak menyebutkan soal pemutusan kontrak tersebut. Dalih itu bertentangan dengan putusan MA, yang dengan tegas memerintahkan pengelolaan air minum dikembalikan kepada PAM Jaya. Kerja sama dengan pihak swasta terbukti telah merugikan PAM Jaya. Audit Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan DKI Jakarta menunjukkan PAM Jaya menderita kerugian Rp 1,4 triliun akibat kebijakan kerja sama privatisasi air sejak Februari 1998 hingga Desember 2015. PAM Jaya merugi karena harus membayar selisih biaya produksi dan penerimaan kepada kedua mitranya itu sebesar lebih dari Rp 2.000 per meter kubik.

Dengan tarif rata-rata tahun lalu sebesar Rp 7.025, layanan air bersih di DKI masih jauh dari harapan. Kebocoran tetap tinggi, banyak pipa lama belum diganti, serta masih banyak pelanggan mengeluhkan kualitas dan kuantitas air yang tak stabil. Akses masyarakat DKI terhadap air bersih pun masih tertinggal dibanding provinsi lain. Menurut hasil riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan pada 2013, akses masyarakat DKI terhadap air bersih hanya 62 persen, jauh tertinggal dibanding Bali (82 persen) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (81,7 persen).

Penghentian privatisasi air sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada Februari 2015 yang membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air. Mahkamah Konstitusi menyatakan sumber daya air merupakan hak asasi manusia dan pihak swasta tak boleh menguasainya. Mahkamah Agung pun menyatakan kerja sama pemerintah DKI dan PAM Jaya dengan kedua perusahaan swasta tersebut melanggar hukum.

Advertising
Advertising

DKI Jakarta bisa belajar kepada Surabaya, yang airnya dikelola perusahaan daerah. Riset Amrta Institute for Water Literacy menyebutkan tarif rata-rata air di ibu kota Jawa Timur itu pada tahun lalu Rp 2.800 per meter kubik, atau cuma 35 persen dari tarif di DKI Jakarta. Dengan tarif tersebut, kota terbesar kedua di Indonesia itu telah melayani 95,6 persen penduduknya dan menargetkan pelayanan kepada seluruh penduduknya pada tahun ini.

Surabaya telah membuktikan bahwa pengelolaan air oleh negara bisa lebih efisien dan menguntungkan jika dilakukan dengan transparan serta akuntabel. Pemerintah DKI Jakarta harus mengutamakan hak asasi warganya atas air sebagai sumber kehidupan. Jadikan kepentingan publik prioritas utama dalam pengelolaan air.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya