BBM dan Dewa Mabuk

Penulis

Tulus Abadi

Senin, 16 April 2018 07:00 WIB

GM Pertamina MOR V Herman M Zaini (kiri) mengisi Bahan Bakar Khusus (BBK) Pertamax secara gratis milik pelanggan di SPBU Jemursari, Surabaya, Jawa Timur, 4 September 2017. PT Pertamina (persero) memberikan kejutan berupa pengisian BBK Pertamax secara gratis dan pemberian hadiah kepada pelanggan yang beruntung dalam rangka memperingati Hari Pelanggan Nasional. ANTARA FOTO

Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

Harga minyak mentah dunia terus melambung. Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei, misalnya, sebesar US$ 67,39 per barel pada Sabtu lalu. Padahal, asumsi makro, harga minyak mentah hanya US$ 48 per barel. Jadi, ada lonjakan pagu harga hampir 50 persen. Akibatnya, pemerintah pun tampak makin zig-zag bak "dewa mabuk" dalam mengambil kebijakan bahan bakar minyak (BBM).

Wujud kebijakan zig-zag itu, antara lain, hendak kembali mewajibkan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jawa, Madura, dan Bali untuk menjual Premium. Padahal, sebelumnya, prioritas Premium adalah untuk pasokan di luar Pulau Jawa. Pemerintah juga ingin intervensi dalam penetapan harga untuk kategori BBM non-subsidi. Padahal selama ini harga BBM non-subsidi ditetapkan operator berdasarkan harga minyak mentah dunia.

Soal penjualan Premium, ada beberapa tanggapan. Pertama, seharusnya pemerintah konsisten bahwa Premium hanya untuk masyarakat di luar tiga pulau tadi. Bahkan, kalau perlu, hanya untuk daerah T3 (terluar, terdepan, dan tertinggal). Saat ini masyarakat di T3 masih kesulitan mendapat BBM karena letak SPBU yang sangat jauh. Kalau pun ada, harganya sangat mahal. Seharusnya Premium difokuskan untuk memasok daerah T3 tersebut guna mempermudah akses dan menekan harga.

Kedua, seharusnya pemerintah konsisten dengan kebijakan dan regulasi bahwa kualitas BBM di Indonesia minimal Euro2 standard. Artinya, kualitas BBM semestinya minimal sudah mencapai nilai RON 92, sedangkan Premium hanya mengantongi nilai RON 88. Ini artinya pemerintah tidak konsisten untuk menjaga lingkungan dari pencemaran akibat penggunaan BBM. Sebab, semakin rendah nilai RON pada BBM, maka semakin buruk kualitasnya dan semakin mencemari lingkungan.

Advertising
Advertising

Adapun niat pemerintah untuk mengintervensi penetapan harga BBM non-subsidi bisa dipahami dari sudut regulasi. Sebab, putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi menyatakan bahwa harga BBM harus ditetapkan oleh pemerintah, tidak bisa ditetapkan oleh operator hanya dengan mekanisme pasar.

Namun penetapan harga BBM non-subsidi oleh pemerintah sejatinya adalah bentuk kepanikan pemerintah. Pemerintah panik karena terserimpung oleh kebijakannya sendiri bahwa sampai 2019 tidak akan ada kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Kebijakan itu mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam membaca fluktuasi harga minyak mentah dunia. Pemerintah lupa atau tidak sadar bahwa BBM bukan hanya BBM bersubsidi, Premium. Market share Premium sudah kalah oleh Pertalite. Sejak kesenjangan harga Premium dengan Pertalite rendah, masyarakat bermigrasi ke Pertalite, yang notabene kualitasnya lebih baik (RON 90).

Dengan dalih untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah menyatakan tidak akan menaikkan harga BBM dan tarif listrik. Pernyataan ini memang ada benarnya karena kenaikan harga BBM dan tarif listrik bisa mengganggu daya beli dan memicu inflasi. Tapi masyarakat awam pun tahu bahwa alasan yang paling afdal bukan karena ingin menjaga daya beli, melainkan karena faktor politis (pemilihan umum/pemilihan presiden).

Pemerintah (baca: Presiden Jokowi) tidak ingin citranya tergerus oleh dampak kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Padahal, jika mengacu pada data yang dirilis Badan Pusat Statistik, sumber utama pemicu inflasi/daya beli masyarakat adalah melambungnya harga bahan pangan dan bumbu-bumbuan, seperti cabai. Secara keseluruhan, persentase inflasi karena faktor kenaikan harga BBM lebih kecil daripada faktor kenaikan harga bahan pangan.

Karena dominan alasan politik dan pencitraan itulah pemerintah tampak keukeuh untuk tidak menaikkan harga BBM, tidak memberikan subsidi BBM, dan inflasi pun tetap rendah. Sebuah keinginan yang tak masuk akal, bak mimpi di siang bolong.

Pada akhirnya, dalam hal kebijakan BBM, pemerintah seharusnya tetap konsisten, berjalan pada koridor regulasi yang benar dengan sejumlah langkah. Pertama, memasok BBM dengan kualitas yang bagus, yakni minimal dengan nilai RON 92. Di seluruh dunia, nyaris hanya Indonesia yang masih menggunakan BBM dengan RON 88.

Kedua, pasokan Premium hanya untuk luar Jawa, Madura, dan Bali, atau bahkan untuk area T3 saja. Apalagi sampai detik ini program satu harga BBM di Indonesia bagian timur masih porak-poranda (gagal). Ketiga, memasok BBM dengan harga terjangkau sehingga perlu penetapan harga oleh pemerintah. Bagaimanapun, BBM adalah komoditas strategis dan pemerintah harus mengaturnya, baik untuk pasokan maupun harganya.

Keempat, pemerintah harus menjaga agar PT Pertamina tidak merugi dan terus mengerdil karena tidak adanya keberpihakan yang jelas dari pemerintah. Membuat Pertamina merugi karena menjual produknya di bawah harga pokok adalah bentuk pelanggaran undang-undang. Kalau pun Pertamina menjual produknya di bawah harga pokok, selisihnya harus dibayar pemerintah (disubsidi). Kelima, jika subsidi BBM tak bisa dihindari, yang seharusnya disubsidi adalah (minimal) Pertalite, bukan Premium. Menjual Premium di area Jawa, Madura, dan Bali, apalagi mensubsidinya, adalah bentuk kemunduran.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

31 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

43 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

58 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

59 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya