Profesionalitas Brigadir Jenderal Firli kini diuji. Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat yang baru terpilih menjadi Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi itu harus "menanggalkan" seragam cokelatnya dan menunjukkan integritas serta independensinya.
Firli juga harus membuktikan bahwa kekhawatiran publik tentang perlakuan tidak adil terhadap kasus-kasus yang ditangani KPK tidak akan terjadi. Di bawah kepemimpinannya, Firli harus menjamin kasus korupsi yang melibatkan personel atau korps Kepolisian RI tidak akan dipetieskan.
Sejak awal, publik ragu akan transparansi pemilihan Deputi Penindakan KPK. Kursi strategis itu sebelumnya diduduki Inspektur Jenderal Heru Winarko. Februari lalu, Heru melepas jabatannya setelah dilantik menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional.
Ketua KPK Agus Rahardjo akhirnya mengumumkan para calon pengisi pos penting lembaga itu, setelah publik mempersoalkan transparansi proses pemilihan. Semula, KPK diduga diam-diam melayangkan surat ke Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung perihal seleksi yang sedang diselenggarakan. Masyarakat baru mengetahuinya setelah kepolisian dan Kejagung memberikan nama-nama untuk diseleksi sebagai kandidat.
Ada sepuluh calon deputi penindakan, tiga dari kepolisian dan tujuh dari Kejaksaan Agung. Tidak ada kandidat dari lingkup internal. Hal ini diduga karena persyaratan jabatan ini cukup berat, antara lain pernah menjadi direktur atau kepala biro, berpengalaman dalam penyidikan atau intelijen, dan berusia minimal 45 tahun. KPK agaknya perlu mengkaji lagi persyaratan yang membuka peluang calon kandidat di luar kepolisian dan kejaksaan.
Komisi antirasuah itu juga melakukan seleksi untuk jabatan direktur penyidikan, guna mengganti Brigadir Jenderal Aris Budiman. Untuk kursi ini, kepolisian mengirim tiga calon. Beberapa personel internal KPK pun mengikuti seleksi jabatan pos ini.
Heru dan Aris diangkat pada era kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, yang ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi pelaksana tugas KPK pada 2015 menggantikan Abraham Samad yang tersangkut kasus kriminal. Pelantikan Heru, pada 15 Oktober 2015, dihadiri oleh Luhut B. Pandjaitan, yang ketika itu menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Jaksa Agung M. Prasetyo-hal yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Pengangkatan itu memperparah perpecahan di tubuh KPK. Konflik internal menjadi terbuka ketika Aris memenuhi undangan Panitia Khusus Hak Angket, ketika KPK belum mengakui keabsahan organ ad hoc Dewan Perwakilan Rakyat itu.
Kesempatan untuk membenahi KPK terbuka dengan memanfaatkan momentum proses seleksi. Namun masalah utamanya adalah transparansi. Karena itu, ke depan, KPK harus mengumumkan tahap demi tahap pemilihan pejabatnya. Publik perlu dilibatkan untuk meneliti riwayat semua calon, termasuk komitmen mereka terhadap penindakan perkara korupsi. Dengan begitu, kandidat terpilih bisa benar-benar bebas dari kepentingan kelompok.