Merdu-Sumbang Nyanyian Setya

Penulis

Senin, 2 April 2018 07:00 WIB

Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (kiri) mendengarkan kesaksian Wakil Ketua MPR Mahyudin dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, 15 Maret 2018. ANTARA

SETYA Novanto sebaiknya berhenti berlagak pilon atau bermain sandiwara. Berpura-pura memiliki bukti keterlibatan politikus lain dalam perkara korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)-atau sebaliknya menyembunyikan fakta penting keterlibatan mereka-hanya akan merugikan diri sendiri. Jika benar-benar memiliki bukti tersebut, seharusnya mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu segera menyerahkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika tidak, ia tidak boleh mengada-ada.

Kesaksian Setya dua pekan lalu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyebut nama mantan Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Puan Maharani dan mantan Wakil Ketua DPR Pramono Anung cukup mengejutkan, meski tidak cukup kuat untuk menyeret mereka sebagai tersangka. Pasalnya, Setya hanya mendengar ihwal pembagian suap masing-masing US$ 500 ribu buat dua petinggi PDIP ini dari saksi lain: Made Oka Masagung. Begitu Oka, Puan, dan Pramono ramai-ramai membantah, kandaslah tudingan Setya.

Sebagai tokoh utama di balik bancakan duit pengadaan KTP elektronik senilai Rp 5,7 triliun, jelas Setya menyimpan banyak informasi. Dia bisa bercerita kepada penyidik KPK soal peran semua politikus lain di Senayan dalam skandal bagi-bagi rezeki haram itu. Ketimbang berfokus pada informasi soal siapa menerima berapa, Setya bisa membuat perkara korupsi ini jadi lebih terang-benderang dengan membeberkan siapa berperan bagaimana. Berdasarkan kesaksian itu, KPK bisa mengembangkan perkara ini dan menetapkan tersangka baru.

Sayangnya, sejauh ini Setya masih belum sepenuhnya terbuka. Dia memang sudah melaporkan sejumlah nama anggota DPR lain, seperti politikus Hanura, Miryam S. Haryani, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai penerima suap e-KTP. Sejak Januari lalu, dia sudah mengirimkan lima surat kepada penyidik KPK, berisi pelbagai informasi yang ia ketahui, termasuk mengenai dugaan keterlibatan Puan dan Pramono. Namun semuanya tidak berisi informasi baru.

Karena itu, sulit untuk tidak menduga bahwa motif utama nyanyian Setya sebenarnya bernuansa politik. Dengan menyebut nama-nama politikus lain tapi tidak menyorongkan bukti autentik yang kuat secara hukum, Setya sebenarnya dari balik terali besi tengah bernegosiasi dengan lawan dan sekutu politiknya. Dengan menjadikan sidangnya sebagai panggung politik dan memicu kehebohan dari pengakuan-pengakuannya, Setya boleh jadi berharap mendapat imbalan tertentu. Jika dugaan itu benar, hakim selayaknya memperberat hukuman Setya. Saat ini dia hanya dituntut hukuman 16 tahun penjara.

Advertising
Advertising

Jika benar-benar ingin menjadi justice collaborator, langkah pertama yang harus Setya lakukan adalah mengakui semua kesalahan. Setya harus jujur menyatakan bahwa dialah otak di balik megakorupsi ini. Dia juga harus mengakui bahwa dia telah mencuri sedikitnya Rp 71 miliar dari proyek ini, dan tak sekadar menerima jam tangan merek Richard Mille seharga Rp 1,3 miliar. Hanya jika ada pengakuan semacam itu permohonan keringanan hukuman Setya layak dipertimbangkan.

Di sisi lain, KPK tentu tak bisa hanya mengandalkan nyanyian Setya. Berbagai informasi yang sudah ada di tangan penyidik harus terus dikembangkan. Berbekal itu, semua politikus yang terlibat dalam skandal ini harus diseret ke meja hijau.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

53 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya