Bahaya Kesepakatan Mendagri dan Polisi

Penulis

Senin, 5 Maret 2018 06:30 WIB

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyampaikan keterangan saat tiba di gedung KPK, Jakarta, 26 Februari 2018. Dalam pertemuan tertutupnya, Mendagri membicarakan beberapa hal pada KPK, sekaligus memperkenalkan empat pelaksana tugas (Plt) Gubernur. TEMPO/Imam Sukamto

Nota kesepakatan yang diteken antara Kementerian Dalam Negeri, kepolisian, dan kejaksaan adalah nota yang rawan. Nota ini berpotensi melindungi pejabat yang diduga melakukan korupsi. Salah satu pasal dalam nota kesepahaman ini menyatakan, dimungkinkan "penghapusan" perkara korupsi bila uang terduga koruptor dikembalikan ke negara.

Kesepakatan ini jelas merupakan sebuah kemunduran yang melemahkan perang terhadap korupsi. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Sebagaimana kita ketahui, banyak sekali pejabat yang memainkan anggaran dan menyalahgunakan wewenang. Dengan adanya kesepakatan ini, pejabat yang dicurigai terlibat korupsi tak bisa langsung dijadikan tersangka, kecuali pada kasus tangkap tangan. Mereka tak bisa lagi langsung disidik oleh kepolisian, melainkan disaring lebih dulu oleh aparat pengawasan internal pemerintah (APIP).

APIP memiliki kriteria sendiri untuk menentukan apakah tindakan seorang pejabat masuk ranah korupsi ataukah sekadar kesalahan administrasi. Hal itu juga diatur dalam nota kesepakatan tersebut. Jika APIP memutuskan yang dilakukan hanyalah pelanggaran administrasi, pejabat tersebut akan ditangani di lingkup internal kelembagaan. Sebaliknya, apabila ditemukan unsur tindak pidana, barulah ia akan diserahkan ke aparat hukum.

Nota kesepakatan tersebut juga mengatur, asalkan pejabat terduga koruptor mengembalikan uang yang mereka curi dari negara dalam waktu 60 hari sejak perkara ditangani, mereka akan dibebaskan dari tuntutan pidana. Jelas ini berbahaya dan bisa membuat pejabat negara dan daerah tidak takut lagi melakukan korupsi. Toh, kalau tertangkap, mereka tinggal mengembalikan uang yang dicuri, dan bebas. Perkaranya dihentikan.

Pada titik ini, sangat besar kemungkinan terjadi moral hazard. Bagaimana kita bisa menjamin aparat kepolisian, kejaksaan, ataupun APIP tak melakukan negosiasi atau kongkalikong dengan pejabat terduga koruptor?

Advertising
Advertising

Pasal MoU itu sendiri bertabrakan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 4 UU Tipikor menyatakan, ketika ditemukan bukti dan terdapat kerugian negara, sebuah kasus dugaan korupsi mesti diproses secara pidana. Menurut UU Tipikor, sebuah kasus dugaan korupsi tak boleh dihentikan dengan dalih apa pun. Bahkan bila tersangka koruptor sudah mengembalikan uang hasil curiannya, kasusnya tetap akan diproses.

Pemerintah berdalih MoU ini dibuat agar pejabat daerah tidak takut mengambil keputusan. Selama ini serapan anggaran belanja di daerah rendah karena kepala daerah takut ditangkap jika terjadi kekeliruan dalam pengelolaan anggaran. Akibatnya, pembangunan di daerah melambat. Dalih tersebut jelas mengada-ada. Faktanya, justru banyak pejabat di daerah menilap anggaran.

MoU ini mesti dicabut. Kita tidak ingin nota kesepahaman tersebut malah menciptakan kultur korupsi baru dan menjadi tameng bagi para koruptor yang tertangkap. Jangan sampai para pejabat menggampangkan korupsi karena merasa bisa dengan mudah menghindar dari tuntutan hukum, cukup dengan mengembalikan uang negara yang dicuri.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya