Kelabu

Senin, 19 Februari 2018 06:43 WIB

Chaka Khan. AP/Chris Pizzello

Ketika dengan suara sayup-sayup-serak Chaka Khan melagukan My Funny Valentine, kita tak akan ingat, tak perlu ingat, siapa gerangan si Valentine yang disebutnya. Kita hanya tahu: itu penanda kekasih.

Kita bahkan tak tahu, tak perlu tahu ketika nyanyian yang dikutip dari pertunjukan Broadway tahun 1937 itu dilantunkan Frank Sinatra, Chet Baker, atau Sting bahwa lirik My Funny Valentine sebermula tak ditujukan buat seorang perempuan pujaan; akan sangat ganjil jika wanita yang dipuja disebut menggelikan (”laughable”) dan tak layak dipotret (”unphotographable”) saking jeleknya. Meskipun tetap disayang.

Pendeknya, telah hilang jejak ke Broadway, asal-usul. Kita hanya menikmatinya.

Hilang juga jejak Hari Valentine ke Roma. Kita tak tahu siapa Santo Valentin sebenarnya; ia konon dihukum mati Kaisar Klaudius di abad ke-3. Kata ”konon” sangat penting, sebab sejarawan mencatat ada dua orang yang diangkat sebagai santo oleh Gereja Katolik dengan nama yang sama dan dieksekusi pada hari yang sama di tahun yang berbeda. Juga belum pasti apa hubungan cinta dengan salah satu Valentin itu. Dikisahkan Kaisar melarang pemuda menikah dini, sebab tenaga mereka dibutuhkan buat perang, dan Valentin justru diam-diam mengatur pernikahan anak-anak muda. Tapi ada sejarawan yang menunjukkan bahwa perayaan 14 Februari hanyalah modifikasi atas hari Lupercalia, ketika orang Roma yang kafir berkumpul, berpesta, dan mencambuki gadis-gadis dengan kulit binatang korban agar tak mandul.

Siapa yang ingat, siapa peduli?

Advertising
Advertising

Kini ”Hari Valentin” adalah hari raya bertukar kartu dan kado, yang sejak abad ke-19, di Amerika, jadi bagian strategi industri kreatif. Tahun 1840, Esther Howland—yang dikenal sebagai ”Ibu Para Valentin”—mulai menjual greeting card hari khusus itu yang diproduksi secara massal. Tentu, di era telepon seluler dan laptop, kartu tak laku lagi, tapi adat saling mengirim pesan cinta terus, baik latah maupun orisinal, palsu ataupun tulus.

Seperti Sinterklas, Hari Valentin tak cuma punya satu titik awal yang terang. Sejarahnya, seperti sejarah umumnya, berwarna kelabu. Nietzsche yang pertama kali memakai kias­an itu: membaca masa lalu kita tak seperti menemukan hari cerah dengan langit biru. Apa yang sebenarnya terjadi dahulu kala itu—bahkan yang terjadi beberapa bulan yang lalu—selamanya kabur, sebagian terlupakan, sebagian terbentuk kondisi kita kini, serba mungkin, majemuk, penuh campur-aduk, ya, seakan-akan ditulis dengan aksara hieroglif yang asing atau setengah asing.

Tapi tiap kali ada sejenis kelabu-fobia. Ada hasrat kuat untuk hanya menunjuk ke satu sumber. Dan kini, di sebuah masyarakat yang cemas oleh hiruk-pikuk dan kalang-kabut informasi, orang dengan cepat berbaris ke dalam apa yang tampaknya koheren, terpadu, dan absolut: agama. Maka agama pun jadi satu-satunya penjelas—bahkan tentang Hari Valentin, pakaian Sinterklas, lambang Palang Merah, vak­sinasi, gempa bumi....

Tapi kita tahu, sejarah tak hanya dibentuk agama. Perang, perdagangan, uang, politik, nafsu, akal, kebebalan—semua itu ikut membuat hal-ihwal di dunia, juga perubahan yang terjadi di dalamnya.

Itu sebabnya Hari Valentin melupakan sang Santo dan dirayakan mereka yang tak beriman, dan Palang Merah sudah lama berubah bukan lagi lambang Kristen—hingga bagus sekali kita tak menerjemahkannya jadi ”Salib Merah”. Seperti halnya nama-nama hari yang merupakan gabungan kata yang berakar pada bahasa Arab (Senin, Selasa, Rabu, Kamis...), Portugis (Minggu), dan Ibrani (Sabtu): kaitan mereka dengan agama sudah cair dan sama—satu hal yang lumrah dalam sejarah kebudayaan.

Sejarah kebudayaan adalah proses kelabu: tak pernah biru tulen, putih murni, merah mutlak. Tiap ”sumber” selamanya bersifat sementara. ”Allah” semula ada dalam kosakata pra-Islam (itu sebabnya nama ayah Rasulullah adalah ”Abdullah”, abdi Allah), kemudian jadi sentral dalam theologi Islam, dan pada saat yang sama, digunakan dengan hormat oleh mereka yang Kristen dan penganut Kejawen.

Silsilah memang hanya hasil penyederhanaan. Membaca karya-karya sejarawan, yang sebenarnya hanya tafsir atas masa silam, kita akan sadar bahwa tak ada yang benar-benar bisa ”meluruskan”. Itu sebabnya Foucault memperkenalkan genealogi sebagai alternatif: kita tak perlu dan tak mampu menunjuk satu subyek sejarah, tak mungkin menemukan ”hukum” perkembangan atau kemunduran sosial, tak bisa memutlakkan ”filsafat sejarah”. Kita sadar bahwa apa yang benar dan salah—juga fakta-fakta—senantiasa berkaitan dengan kekuasaan, hegemoni, kekuatan wacana.

Dengan kesadaran itu, genealogi lebih tahu diri. Genealogi, kata Foucault, menentang usaha mencari asal-usul, la recherche de l’origine.

Juga di Hari Valentin.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

2 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

32 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

44 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

59 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya