Kebijakan Menteri Rasa Orde Baru

Penulis

Kamis, 15 Februari 2018 13:30 WIB

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo usai berkunjung ke rumah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di kawasan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, 8 Januari 2018. Tempo/Adam Prireza

MENTERI Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membawa wajah pemerintahan Presiden Joko Widodo mundur ke masa lalu. Dua keputusan terakhirnya, yakni penempatan jenderal polisi aktif sebagai pelaksana tugas gubernur dan pengaturan izin penelitianmeski belakangan dibatalkanmenghadirkan kembali gaya militerisme ala Orde Baru.


Usul Tjahjo mengangkat dua jenderal aktif polisi menjadi pelaksana tugas kepala daerah di Sumatera Utara dan Jawa Barat menabrak sejumlah aturan. Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia jelas menyebutkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan dilarang melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.


Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, juga mewajibkan setiap anggota aktif Polri mengundurkan diri dari kedinasan sebelum menduduki jabatan pemimpin tinggi setingkat madya dalam instansi pemerintah. Usul Menteri Tjahjo sangat dipaksakan karena tidak ada klausul kegentingan yang memaksa untuk menjalankannya.


Langkah politikus PDI Perjuangan itu memantik kecurigaan. Sebab, di dua provinsi itu, partainya memiliki kepentingan pemenangan pada pemilihan kepala daerah. Tak mengherankan, kritik keras muncul setelah keputusan Menteri Tjahjo. Ia pun malah melemparkan bola panas ini ke Presiden Joko Widodo. Hingga saat ini, empat bulan menjelang putaran pemilihan kepala daerah, Presiden belum memutuskan menerima atau menolak usul pembantunya itu.


Keputusan lain tentang izin penelitian makin menguatkan kesan militeristik pada Kementerian Dalam Negeri. Tjahjo menerbitkan Peraturan Menteri tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian pada 11 Januari lalu. Peraturan itu menggantikan aturan lama tahun 2011 tentang pedoman penerbitan rekomendasi penelitian. Isinya, antara lain, memuat ketentuan baru tentang "potensi dampak negatif penelitian" yang memungkinkan pemerintah menolak permintaan izin penelitian.

Advertising
Advertising


Meski kemudian dibatalkan karena menuai kecaman publik, langkah Tjahjo ini layak dipertanyakan. Mengapa harus ada aturan yang membahayakan dunia penelitian di negeri ini, tanpa ada proses yang matang dan pengkajian secara mendalam, termasuk mendengarkan masukan publik. Lalu untuk apa aturan yang berpeluang mengekang kegiatan berekspresi diterbitkan secara diam-diam.


Tjahjo seharusnya paham, tanpa ada aturan izin saja, perkembangan dunia penelitian di Indonesia masih sangat rendah. Jumlah peneliti Indonesia masih minim. Data dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2016 menyebutkan jumlah periset di negeri ini paling rendah di antara 19 negara perekonomian terbesar ditambah Uni Eropa (G-20). Rasio jumlah periset di Indonesia, yaitu 89 peneliti per 1 juta penduduk, jauh tertinggal dibanding Singapura, yang memiliki 6.658 peneliti per 1 juta penduduk.


Presiden Joko Widodo semestinya menegur Menteri Tjahjo. Sebab, dalam sistem presidensial, Presiden bertanggung jawab atas semua kebijakan yang dilahirkan para pembantunya. Membiarkan anak buahnya mengambil keputusan-keputusan kontroversial menguatkan tudingan bahwa pemerintahan Jokowi rindu era Orde Baru.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

57 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya