Apakah yang begitu menarik dari kekuasaan? Di tepi Sungai Yamuna, seorang pencari ikan, yang anak perempuannya begitu cantik sehingga Santanu, Raja Hastina, jatuh cinta seketika, mengajukan syarat bahwa anak-anak yang dilahirkan putrinya harus menjadi raja jika sang raja bermaksud menikahinya. Satyavati nama perempuan itu. Ayahnya, yang hidup dari mencari ikan, tidak pernah tercatat namanya dalam Mahabharata tapi ingin keturunannya menjadi raja.
Santanu pun jatuh sakit. Meski kekuasaannya besar, kedudukan putra mahkota Bhishma Devavrata tidak mungkin dia batalkan. Ternyata Bhishma sendiri memilih tidak menjadi raja. Demi kesembuhan ayahnya, ia menjemput Satyavati ke tepi sungai, dengan sumpah tiada akan pernah menikah agar tidak ada keturunan yang kelak akan menuntut kedudukan (Rajagopalachari, 1958: 24). Bagi Bhishma, restu pencari ikan bagi pernikahan anaknya adalah jasa yang layak diimbali takhta bagi cucunya.
Dalam terminologi politik, si tukang ikan memainkan politik jasa. Politik yang sama ternyata juga bermain dalam Ramayana. Kaikeyi, yang bukan permaisuri Dasarata, memiliki jasa penyembuhan bisul sang raja Ayodya. Sebagai balas jasa, Dasarata berjanji akan memenuhi apa pun yang diminta Kaikeyi. Namun perwara, yang semula baik hati, itu tidak meminta apa pun sampai kelak Manthara mengingatkannya: jika Ramacandra, putra permaisuri Kausalya, naik takhta, nasib Kaikeyi sebagai kesayangan raja terancam. Begitu pula Bharata, anaknya.
Manthara hanyalah perempuan pelayan tua yang bungkuk (Widia, 1993: 44), tapi berhasil memainkan politik jasa ini melalui Kaikeyi, yang lantas menuntut agar Bharata menjadi Raja Ayodya. Meskipun kelak Bharata tidak bersedia, terbukti betapa ampuhnya utang balas jasa menyandera kekuasaan, sampai putra mahkota Ramacandra pun terusir sebagai bagian tuntutan Kaikeyi.
Begitulah. Bagi pencari ikan maupun pelayan tua, sahih belaka kekuasaan dipikirkan untuk diraih, meski bukan untuk diri mereka-berdasarkan pengetahuan bahwa jasa wajib dibalas.
Mahabharata dan Ramayana sudah ratusan tahun umurnya. Sejak masing-masing dituliskan oleh Vyasa dan Valmiki, terdapat penambahan dan pengurangan cerita dalam ketersebaran dan hegemoni wacana. Sejauh ini keberadaan politik jasa itu tetap. Dalam penelitian antropologi atas peradaban non-literer, terdapat penemuan adanya potlatch (Boas, 1897; Malinowski, 1922; Mauss, 1925): bentuk pelembagaan pertukaran hadiah, yang dalam dirinya sendiri berarti distribusi publik atas barang-barang, dan bahwa penyandang potlatch dapat melakukan klaim demi suatu status berdasarkan daya untuk memberi.
Distribusi dan redistribusi membentuk lingkar-lingkar penyandang potlatch menjadi jejaring pemberian dan pinjaman, yang bahkan mengikat keturunan. Kompetisi dalam sistem ini berlangsung sengit ketika berlangsung jorjoran pengorbanan di antara penyandang potlatch untuk menyingkirkan saingan. Pemberian, di atas segalanya, adalah sesuatu yang disampaikan dengan harapan atas timbal balik, sebagai mekanisme utama pertukaran, yang lebih dari sekadar transaksi ekonomi, dalam khalayak non-moneter membentuk dasar solidaritas sosial (Grimshaw, Freedman dalam Bullock & Trombley, 1999: 295, 366, 676).
Kondisi kultural seperti itu membentuk etika "kesopanan" atau "kepentingan umum" yang, bagi Socrates, adalah politik: seni dengan kesadaran atas arah-tujuan. Untuk setiap langkah berlaku sebuah etika. Unsur-unsur politis dalam potlatch inilah yang membuat peneliti seperti Malinowski mengabdikan hasil kerjanya untuk menolak doktrin-doktrin lazim ekonomi kuna (yang disebutnya "primitif") karena ekonomi tukar-menukar gagal dicocokkan dengan prinsip-prinsip ekonomi alamiah atau utilitarianisme (Mauss, 1992: 116, 158)-saya memahaminya sebagai penolakan atas pembenaran terhadap kemungkinannya sebagai alat politik.
Dalam lingkar wajib memberi-menerima-membayar kembali pada khalayak kuna, terkandung politisasi pemberian atau hadiah (termasuk jasa di dalamnya), yang tidak bisa diterima dalam ekonomi maupun etika sosial modern. Lepasnya takhta dari pewaris selayaknya dalam Mahabharata maupun Ramayana hanya mungkin karena penghargaan tinggi terhadap jasa yang wajib dibayar kembali, yang tidak sebanding dengan kebutuhan obyektifnya: yang pertama, kesembuhan sakit asmara untuk takhta; yang kedua, penyembuhan bisul untuk takhta.
Politik modern belum bebas dari etika kasur tua yang ingkar terhadap semangat zaman. Jasa-jasa jumlah suara dan dana untuk memenangi pemilihan (seperti) wajib dibayar kembali dengan kursi menteri, posisi-posisi tertentu dalam pemerintahan, maupun berbagai konsesi yang menodai demokrasi. Kesepakatan seperti itu tidak tertera dalam peraturan maupun undang-undang. Tapi pemimpin terbaik mampu mengabaikannya!
Seno Gumira Ajidarma
Panajournal.com