Sekongkol Melindungi Setya

Penulis

Minggu, 21 Januari 2018 07:23 WIB

Mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi setelah menjalani pemeriksaan, di gedung KPK, Jakarta, 16 Januari 2018. Fredrich diperiksa untuk tersangka Dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo dalam kasus merintangi penyidikan kasus korupsi proyek e-KTP. TEMPO/Imam Sukamto

Pengacara Fredrich Yunadi dan dokter Bimanesh Sutarjo tidak bisa bersembunyi di balik keistimewaan profesi. Keduanya terang-benderang merekayasa penanganan medis Setya Novanto, tersangka korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. Mereka justru menyalahgunakan profesi untuk melindungi kejahatan.

Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan bukti mengenai perilaku tak elok itu. Sebagai kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich terungkap memesan kamar rawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta, sebelum mobil yang ditumpangi Setya "menabrak" tiang lampu jalan pada pertengahan November tahun lalu. Tersangka, yang saat itu masih menjadi Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, langsung dibawa ke kamar rawat tanpa diperiksa di unit gawat darurat. Adapun Bimanesh diduga memanipulasi data medis agar Setya terlihat sakit parah akibat peristiwa kecelakaan yang diduga direkayasa.

Temuan itu sudah cukup sebagai dasar KPK menetapkan Fredrich dan Bimanesh sebagai tersangka delik menghalangi penyidikan. Sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, setiap orang yang mencegah atau merintangi penyidikan dan penuntutan kasus korupsi diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.

Terlihat pula ada motif menggagalkan proses hukum. Saat itu, penyidik KPK sedang berkejaran dengan proses praperadilan. Jika sidang kasus korupsi Setya bisa dibuka sebelum gugatan praperadilan diputus, otomatis gugatan itu gugur. Komisi antikorupsi akhirnya berhasil mempercepat penyidikan setelah memporak-porandakan siasat pengacara dan dokter. Tak disangka-sangka, KPK langsung menahan Setya saat ia masih "dirawat", lalu memindahkannya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Sebagai pengacara, Fredrich memang memiliki hak imunitas. Hanya, kekebalan dari tuntutan perdata dan pidana itu dalam konteks pembelaan klien di sidang pengadilan. Sesuai dengan Undang-Undang Advokat, pembelaan itu pun harus tetap bertujuan menegakkan keadilan secara hukum, bukan melindungi orang yang bersalah dengan segala cara.

Advertising
Advertising

Organisasi advokat semestinya memeriksa Fredrich dan memberinya sanksi berat. Perilakunya jelas melanggar kode etik profesi ini. Pengacara tidak boleh semata-mata mengejar imbalan materi, tapi harus mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan. Akal-akalan yang dilakukan Fredrich jelas menabrak prinsip ini.

Begitu pula Bimanesh. Sebagai dokter, ia wajib melindungi rahasia penyakit pasien. Tapi yang dilakukan Bimanesh amat memalukan karena menyalahgunakan kaidah itu dan memanipulasi data medis demi melindungi tersangka kasus korupsi. Ikatan Dokter Indonesia harus turun tangan dan memberikan sanksi berat kepada Bimanesh.

Penertiban perilaku dokter amat penting lantaran profesi ini sering disalahgunakan. Investigasi Tempo juga pernah mengungkap kelakuan koruptor di penjara Sukamiskin, Bandung, yang sesukanya keluar-masuk sel berkat rekomendasi dokter. Saat berada di luar penjara, bukan berobat, koruptor itu berpelesir.

Ketegasan KPK menjerat pengacara dan dokter merupakan langkah penting. Penyidik lembaga ini mesti mengusut tuntas siapa pun yang terlibat melindungi Setya, tanpa memandang profesi. Tak ada profesi yang kebal dari tuntutan pidana karena setiap warga negara sederajat di depan hukum.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

57 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya