Putusan MK dan Perkara Perzinaan

Penulis

Dahlia Madanih

Jumat, 5 Januari 2018 07:08 WIB

10-nas-putusanMK

Dahlia Madanih
Koordinator Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan

Pada 14 Desember 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 46/PUU-XIV/2016 mengenai pengujian pasal 284, 285, 292Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal tersebut mengatur hal perselingkuhan (overspel), pemerkosaan, dan pencabulan. Putusan MK ini akan menjadi cermin bagaimana negara harus menentukan sikap terhadap persoalan-persoalan yang terkait dengan pemidanaan.

Para pemohon pengujian tiga pasal tersebut menginginkan adanya perluasan pemidanaan, baik bagi subyek yang diatur maupun obyek hukumnya. Ini antara lain pada pasal 284 yang mengatur pelanggaran kesetiaan dalam perkawinan (perselingkuhan). Pasal ini merupakan delik aduan. Artinya, jika terjadi hubungan seksual di antara orang yang sudah menikah tapi tidak direstui oleh suami atau istri yang bersangkutan, pasangannya bisa meminta perlindungan negara.

Pasal ini tujuan utamanya adalah melindungi kesucian perkawinan atau hubungan suami-istri (Lies Sugondo: 2016). Namun para pemohon meminta MK untuk tidak hanya memidanakan mereka yang terikat dalam perkawinan, tapi juga mereka yang tidak terikat perkawinan. Artinya, pelaku pidana diperluas, tidak hanya dalam konteks perselingkuhan, tapi dalam semua bentuk hubungan seksualitas.

MK secara tegas menyatakan bahwa memperluas pemidanaan bukanlah kewenangan MK sebagai negative legislator. MK tidak mempunyai kewenangan melakukan perluasan hukum. Putusan ini merupakan bentuk komitmen MK dalam menjaga batas peran-peran yang harus dilakukan oleh lembaga negara sesuai dengan UUD 1945. Putusan MK tentu perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan DPR yang tengah menggodok Rancangan KUHP, terutama pengaturan pasal perzinahan dan pencabulan.

Advertising
Advertising

Perzinaan merupakan term yang berasal dari ajaran agama. Setiap agama mempunyai cara sendiri dan berbeda dalam menyelesaikan persoalan seksualitas. Indonesia juga mempunyai norma adat yang sangat beragam dalam memaknai seksualitas. Memidanakan perzinahan, seperti yang dimaksud oleh pemohon, tidak hanya berdampak pada ranah pemidanaan baru, tapi juga formalisasi ajaran agama ke dalam negara.

Dalam persidangan tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan bahwa kelompok yang paling rentan menghadapi pemidanaan adalah mereka yang mempunyai persoalan dalam pencatatan per-kawinan atau mereka yang menikah tapi per-nikahannya tidak diakui oleh negara. Berdasarkan hasil penelitian beberapa lembaga masyarakat yang bekerja sama dengan Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2014), lebih dari separuh perkawinan di Indonesia tidak tercatat. Setiap tahun diperkirakan terdapat dua juta pasangan yang tidak memiliki akta nikah. Maka, dua juta pasangan ini akan rentan menjadi korban pidana zina (Kamala: 2016).

Kelompok lain adalah mereka yang berpoligami tanpa persetujuan pengadilan, pelaku menikah siri, dan para pasangan penghayat. Dalam perkara pengujian ini, pemohon sangat khawatir terhadap anak-anak dan remaja yang terpapar hubungan seksualitas. Namun mereka justru meminta negara untuk menghukum anak-anak itu dengan penjara. Mengkriminalkan anak yang terpapar, hubungan seksual merupakan kegagalan pengasuhan dalam rumah tangga dan kegagalan sistemik pendidikan nasional. Kegagalan ini tidak bisa dibebankan di pundak anak, melainkan tanggung jawab orang dewasa, khususnya orang tua, pendidik, pemuka agama, dan penyelenggara negara (Heny Supolo: 2016).

Gagasan mengenai formalisasi perluasan aturan perzinahan menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang kekerasan seksual. Jika aturan ini dikabulkan, justru akan membuka peluang korban kekerasan seksual menghadapi pemidanaan. Misalnya, pada kasus perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dihendaki karena dianggap melakukan perzinaan. Dalam konteks kekerasan seksual, tentu perempuan ini adalah korban yang harus dilindungi karena bisa jadi pasangannya tidak bertanggung jawab. Namun, dalam konteks hukuman perzinaan, perempuan inilah pelaku pidana yang harus dipenjara karena melakukan perzinaan.

MK juga, melalui putusannya tentang pemerkosaan (pasal 285), memberikan momentum kepada DPR untuk melakukan perubahan menyeluruh terhadap persoalan kekerasan seksual yang dihadapi perempuan. Rancangan KUHP seharusnya perlu membuka ruang dasar hukum bagi persoalan kekerasan seksual yang dihadapi perempuan. Persoalan pemerkosaan bukanlah pada isu apakah perempuan atau laki-laki yang diperkosa. Tapi bagaimana negara menempatkan pemerkosaan sebagai bentuk kejahatan, bukan pelanggaran kesusilaan. Rumusan hukum baru terutama dibutuhkan untuk perlindungan bagi korban, penanganan, dan pencegahan dari tindak pidana pemerkosaan.

Momentum ini merupakan saat yang baik dengan menempatkan putusan MK bukan pada kemenangan atau kekalahan suatu kelompok, tapi menjadi jembatan bagaimana negara harus menyikapi persoalan perzinaan dan kekerasan seksual dengan cukup matang.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

3 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

12 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

33 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

41 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

45 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya