Pernyataan keblinger Kepala Badan Siber dan Sandi Negara Djoko Setiadi tentang hoax sungguh mengkhawatirkan. Pernyataan tersebut menandakan pucuk pimpinan lembaga yang menangani keamanan cyber negara itu tidak paham definisi hoax yang kini kian marak berseliweran di dunia maya.
Komentar sekenanya yang disampaikan Djoko kepada jurnalis setelah dilantik di Istana Negara, Jakarta, Rabu lalu itu juga menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak memahami bahaya peredaran informasi bohong di tengah masyarakat. Dengan mengatakan, "Tentu hoax ini ada yang positif dan negatif. Kalau hoax membangun, ya, silakan saja," Djoko tampaknya tak bisa membedakan antara hoax dan kritik. Hoax, yang identik dengan informasi sesat, tentu tak mungkin membangun apa pun selain kebingungan dan kesimpangsiuran.
Pemahaman compang-camping Djoko itu membuat kita ragu apakah dia mampu memimpin Badan Siber, yang dibentuk Presiden Joko Widodo dengan Peraturan Presiden Nomor 133 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres No. 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara. Apalagi tugas badan yang dibentuk dari peleburan Lembaga Sandi Negara dan Direktorat Keamanan Informatika di Kementerian Komunikasi dan Informatika ini bukan main-main. Ia harus menangani semua urusan keamanan dunia cyber di Indonesia, dari pencegahan hingga perbaikan sistem akibat serangan cyber.
Dari rincian tugas tersebut, jelas sekali bahwa penanganan konten hoax tidak termasuk dalam kewenangan Badan Siber. Lembaga ini seharusnya bekerja menangkal serangan cyber, seperti program jahat (malware) WannaCry yang menginfeksi komputer sejumlah lembaga pemerintah, perusahaan negara, dan swasta pada Mei tahun lalu. Pada hari-hari pertamanya, Djoko seharusnya berkonsentrasi mengaudit dan memperbaiki ketahanan infrastruktur Internet di Indonesia yang saat ini amat rapuh.
Hoax baru menjadi wilayah Badan Siber jika ada upaya sistematis oleh individu atau sekelompok orang yang memanfaatkan teknologi digital untuk membobol akun pengguna media sosial dan menyebarkan berita bohong untuk tujuan mempengaruhi hasil pemilihan umum ataupun terorisme. Kombinasi hoax dan serangan cyber semacam itu terbukti berhasil mempengaruhi hasil referendum Brexit di Inggris dan pemilihan Presiden Amerika Serikat.
Karena itu, permintaan Djoko agar Badan Siber memiliki kewenangan menangkap pelaku teror cyber juga terkesan terburu-buru. Dia seharusnya lebih dulu mempersiapkan organisasinya untuk mendeteksi dan memetakan ancaman. Biarlah kewenangan penindakan hukum tetap menjadi wilayah polisi.
Setahun terakhir, penyebaran kabar sesat dan ujaran kebencian memang sangat merisaukan. Tapi Badan Siber seharusnya mengambil peran lebih strategis, yakni memperkuat keamanan teknologi informasi, baik di lembaga pemerintah maupun di ranah publik, secara sistematis dan menyeluruh. Sungguh disayangkan jika kesalahkaprahan Djoko membuat Badan Siber sibuk menghabiskan waktu dan anggaran sekadar untuk memantau hoax di media sosial.