SEMBILAN bulan berlalu, pengusutan kasus penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan laksana jalan di tempat. Alih-alih menangkap pemberi perintah, penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya bahkan belum menemukan pelaku lapangan. Polisi baru sebatas menyebar sketsa dua wajah terduga pelaku sebulan lalu. Padahal ciri-ciri wajah di sketsa itu sudah diungkap para saksi ke polisi satu pekan setelah peristiwa penyiraman pada subuh 11 April 2017 tersebut.
Kasus Novel bukan perkara kriminal biasa. Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi itu kerap membongkar kasus besar yang melibatkan penyelenggara negara, termasuk legislator, pejabat pemerintah, dan perwira polisi. Ia antara lain memimpin tim pengungkapan korupsi pengadaan simulator uji surat izin mengemudi yang menjerat Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Karena kasus ini, Novel dikriminalisasi.
Tidak hanya dikriminalisasi, sepanjang kariernya di KPK, pria yang memilih berhenti sebagai komisaris polisi ini tak putus dirundung teror. Sebelum diserang dengan air keras, Novel mendapat lima kali intimidasi, dari ancaman pembunuhan sampai aksi tabrak lari. Semua teror datang ketika ia tengah menangani korupsi kakap. Salah satunya perkara suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, yang menyeret nama Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi.
Rentetan horor itu tak membuatnya surut. Ia mengusut kasus korupsi betapapun aksinya itu tak selalu mendapat dukungan. Belakangan, muncul pandangan yang mengaitkan Novel dengan kelompok Islam konservatif-hanya karena ia berjanggut tebal dan kerap bergamis.
Kecemasan terhadap bangkitnya Islam garis keras mereduksi semangat pemberantasan korupsi. Juga melahirkan simplifikasi: Novel yang berjanggut adalah Novel yang tak perlu sepenuhnya dibela karena ia merepresentasikan "pihak lawan" betapapun kiprahnya melawan korupsi tak diragukan.
Kendati menghadapi jalan terjal, Novel tak surut. Ia misalnya masuk ke "wilayah berbahaya" ketika membongkar suap rancangan peraturan daerah reklamasi yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, Mohamad Sanusi. Kasus ini menyeret bos Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan. Kasus berikutnya adalah megaskandal proyek kartu tanda penduduk elektronik dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun, yang akhirnya menjerat Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Golkar Setya Novanto.
Tersebab keberanian, kegigihan, dan dedikasinya itulah kami memilih Novel Baswedan sebagai tokoh Tempo 2017. Pilihan ini diambil agar orang tak lupa bahwa di tengah hiruk-pikuk pembangunan ekonomi masih ada pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan pemerintah.
Kami menyadari Novel tentu tak sempurna-sebagian orang mengkritiknya sebagai penyidik yang lemah dalam membangun sistem dan kerap tampil sebagai single fighter. Tapi "kekurangan" itu tak mereduksi kiprahnya. Di tengah pelbagai risiko sebagai penyidik korupsi, bagaimanapun, ia telah menjadi ikon.
Polisi hendaknya membuktikan komitmennya pada pemberantasan korupsi dengan cergas mengejar pelaku penganiayaan Novel. Sikap ragu-ragu aparat dapat memantik curiga bahwa mereka tengah melindungi pelaku.
Presiden Joko Widodo hendaknya mengambil sikap yang tegas pula. Pembentukan tim independen yang beranggotakan tokoh-tokoh yang dipercaya publik seyogianya tidak dipandang sebagai upaya melemahkan aparat, tapi justru memperkuat mereka. Lewat tim independen, polisi dapat berfokus pada teknik pengungkapan dan terhindar dari "pertarungan politik" yang dipercaya menjadi latar belakang penganiayaan itu. Sikap terbuka aparat dalam pengungkapan kasus Novel dapat menghindarkan mereka dari syak wasangka.
Presiden harus memimpin di depan. Tak tuntasnya pengungkapan pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir tak boleh terulang. Berhasil menguak pelaku lapangan, aparat gagal mengetahui otak pelaku pembunuhan keji tersebut. Hingga kini, kegagalan itu terus "diterakan" kepada Susilo Bambang Yudhoyono, presiden sebelum Jokowi. Pada era Yudhoyono, kasus Munir diinvestigasi oleh sebuah tim independen.
Novel memang tidak terbunuh. Tapi apa yang terjadi padanya adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Tak tuntasnya kasus Novel akan menjadi utang pemerintah yang akan terus ditagih publik. Jokowi tidak boleh tersandera oleh perkara ini.