Brannagh di Atas Panggung Orient Express

Penulis

Tempo.co

Sabtu, 16 Desember 2017 08:21 WIB

Murder on the Orient Express. anygoodfilms.com

MURDER ON THE ORIENT EXPRESS

Sutradara : Kenneth Brannagh
Skenario : Michael GreenBerdasarkan novel karya Agatha Christie
Pemain : Kenneth Branagh, Penelope Cruz, Judi Dench, Michelle Pfeiffer, Daisy Ridley, Lucy Boynton, Manuel Garcia-Rulfo, Marwan Kenzari, and Josh Gad.


Sebuah gerbong kereta menjadi sebuah panggung teater.

Kenneth Brannagh yang sebetulnya lahir dan tumbuh di teater Shakespearean pernah diprediksi menjadi penerus Laurence Olivier karena ia menyutradarai film-film yang diadaptasi dari karya William Shakespeare antara lain Henry V (1989), Much Ado About Nothing (1993) dan Hamlet (1996), Love's Labour's Lost.

Tetapi di antara generasi milenial, Brannagh kemudian lebih dikenal sebagai sutradara Thor (2011) atau Cinderella (2015) yang tentu saja menjadi pujaan penonton musim panas. Adaptasi novel detektif Agatha Christie yang sudah dilakukan beberapa kali kemudian menjadi seperti sebuah ‘eksperimen’ bagi Brannagh.

Dia menggunakan sejumlah nama-nama besar untuk memerankan para penumpang kereta Orient Express; gerbong itu lantas seperti sebuah panggung teater yang terus menerus mengubah latar belakang panorama yang dilalui mereka; para aktor dan aktris keluar masuk sesuai kebutuhan dan yang paling lucu adalah Brannagh tampil sebagai detektif Belgia yang populer berkumis super panjang, obsesif pada kebersihan dan presisi dan tentu saja identik dengan kemampuannya menyelesaikan kasus.

Seseorang terbunuh di atas kereta. Maka menurut Poirot, semua penumpang yang berada di atas kereta dicurigai. Bagi para pembaca setia novel Agatha Christie atau mereka yang sudah menyaksikan versi sebelumnya, film ini dinikmati bukan lagi untuk mencari ketegangan ‘whodunnit’, siapa yang membunuh; melainkan bagaimana Brannagh menerjemahkan seorang Poirot baru; di panggung ‘baru’ , sebuah panggung teatrikal drama berunsur komedi (bukankah kumis yang luar biasa panjang dan setiap malam menjelang tidur harus melalui serangkaian perawatan. Tak perlu merasa heran , Agatha Christie juga menggambarkan Poirot dalam novelnya sebagai tokoh yang berbicara dengan menggunakan beberapa tanda seru.

Para pemain lain seperti Penelope Cruz, Judi Dench, Michelle Pfeiffer, Daisy Ridley, Lucy Boynton, Manuel Garcia-Rulfo, dan Josh Gad nyaris seperti tampil bergiliran seperti sebuah antre fashion show di mana mereka menanti giliran. Tentu saja penonton perlahan mengetahui berbagai latar belakang mereka yang akhirnya bermuara pada satu hal dan satu orang.

Problem dari versi baru film ini adalah Brannagh tak bisa memutuskan apakah dia sekalian akan menampilkan seluruh cerita detektif ini sekalian seperti teater, sesuatu yang sangat dikuasainya atau dia akan masuk ke budaya pop dengan ritme yang lebih lekas dan dialog yang lebih cergas. Brannagh mencoba memadukannya, dan agaknya keputusan itu problematik.

Poirot versi Brannagh muncul seperti salah satu tokoh Shakespeare yang berpanjang-panjang mengucapkan dialog yang berisi teorinya siapa kira-kira pembunuh di antara mereka, sementara para pemain lain tak sempat digarap sang sutradara.

Problem lain adalah setelah berlama-lama di dalam gerbong dan mencoba memperlakukan ruang-ruang sempit itu seperti panggung teater, akhirnya Brannagh ‘menyerah’ keluar dari rasa “klaustrofobik” itu. Dia kemudian membuat Poirot merdeka menikmati keluasan sinematik dengan menggunakan CGI (Computer-Generated Imagery) sekaligus memberi ‘kuliah akhir’ kepada para penumpang kereta Orient Express bahwa kali ini dia harus memberikan sebuah keputusan yang agak menentang hatinya sebagai detektif.

Novel ini adalah salah satu novel dari puluhan karya Christie yang paling magnetik dan tak henti-hentinya menjadi bahan studi dan diskusi; ditafsir ulang beberapa kali dalam bentuk film. Sebetulnya jika Brannagh bisa memutuskan untuk sekalian mencemplungkan ke dalam naskah “Murder on the Orient Express” yang digarap secara teatrikal –meski belum tentu film ini akan menjadi karya yang komersial.

Brannagh tak mungkin menggarap Poirot sebagaimana Guy Ritchie merombak Sherlock Holmes menjadi film drama-komedi-laga era steam-punk karena bagi pembaca Christie itu adalah sebuah pengkhianatan bagi sosok detektif Belgia yang dipuja penggemarnya itu.

Terlepas semua ketidaknyamanan itu, ternyata film ini bukan saja laku keras, tetapi Brannagh sudah dipastikan akan meneruskan pemecahan kasus di tepi Sungai Nil.

Leila S.Chudori

Berita terkait

Dark dan Logika Nihilis Tentang Kebebasan

21 Agustus 2020

Dark dan Logika Nihilis Tentang Kebebasan

Film Dark penuh dengan pelbagai dialog teoritis dan filsafat, tapi bukan fiksi tentang sains. Juga bukan film yang sedang mengadvokasi bahaya nuklir.

Baca Selengkapnya

Back Up! Film yang Wajib Ditonton Calon Sutradara dan Editor

8 Mei 2020

Back Up! Film yang Wajib Ditonton Calon Sutradara dan Editor

Film Back Up! akan diputar dan didiskusikan dalam workshop, komunitas-komunitas film serta lembaga pendidikan perfilman.

Baca Selengkapnya

Dua Garis Biru: Tentang Dara, Bima dan Masa Depan Mereka

14 Juli 2019

Dua Garis Biru: Tentang Dara, Bima dan Masa Depan Mereka

Dua Garis Biru menjadi sebuah film remaja-keluarga yang menggedor orang tua untuk tak menutup pintu dari masalah anak-anak mereka

Baca Selengkapnya

Luc Besson Rilis Film Anna, Femme Fatale Ala Nikita

22 Juni 2019

Luc Besson Rilis Film Anna, Femme Fatale Ala Nikita

Di film Anna, Luc Besson, sutradara film kenamaan asal Prancis, menggunakan formula lawas yang pernah dia gunakan pada tahun 1990-an

Baca Selengkapnya

Film Hotel Mumbai, Masa-masa Gelap Menghadapi Terorisme

7 April 2019

Film Hotel Mumbai, Masa-masa Gelap Menghadapi Terorisme

Film Hotel Mumbai merupakan film yang sangat menyiksa penonton. Dalam durasi dua jam lebih penonton disuguhkan aksi tembak membabi buta

Baca Selengkapnya

Film A Private War, Potret Keberanian Wartawan Perang

17 Maret 2019

Film A Private War, Potret Keberanian Wartawan Perang

Film A Private War disutradarai Matthew Heineman dengan merujuk pada tulisan Marie Brenner: Marie Colvin's Private War yang dimuat di Vanity Fair

Baca Selengkapnya

Glass, Menjalin Simpul Kisah Hero Ala Shyamalan

22 Januari 2019

Glass, Menjalin Simpul Kisah Hero Ala Shyamalan

Film Glass menjadi kisah penutup dari trilogi yang disusun Night Shyamalan sejak pertama kali menghadirkan Unbreakable (2000) disusul Split (2017)

Baca Selengkapnya

Resensi Film Stan & Ollie: Duo Komedian Menolak Terpuruk

20 Januari 2019

Resensi Film Stan & Ollie: Duo Komedian Menolak Terpuruk

Bagaimana Stan dan Ollie berusaha lari dari keterpurukan adalah kisah utama Stan & Ollie, film biopic hasil garapan sutradara asal Skotlandia, Jon S.

Baca Selengkapnya

Resensi Film The Favourite: Bersaing Demi Menjadi Anak Emas Ratu

18 Januari 2019

Resensi Film The Favourite: Bersaing Demi Menjadi Anak Emas Ratu

Berkisah tentang dua perempuan yang berebut perhatian sang ratu. Film The Favourite penuh intrik, tipu muslihat, serta komedi sarkastik.

Baca Selengkapnya

Christopher Robin yang Nyaris Kehilangan Dunia Imajinasinya

26 Agustus 2018

Christopher Robin yang Nyaris Kehilangan Dunia Imajinasinya

Masa kecil Christopher Robin penuh imajinasi. Ia menikmati masa berkawan dengan sekelompok boneka hewan yang hidup dan kehilangan semua saat dewasa

Baca Selengkapnya