Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute
Sejumlah bank umum telah merilis laporan keuangan selama kuartal III 2017. Mayoritas bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III dan IV meraih pertumbuhan laba dua digit. Di level BUKU I dan II juga membukukan kenaikan pendapatan usaha yang besar.
Tingginya pertumbuhan laba perbankan agaknya kontras dengan kondisi perekonomian nasional yang sedang lesu. Perekonomian di kuartal III 2017 tumbuh 5,06 persen, tidak jauh berbeda dari triwulan I dan II yang stagnan di level 5,01 persen.
Untuk itu, laporan keuangan perbankan kuartal III ini menyisakan tanda tanya besar lantaran 80 persen pendapatannya diperoleh dari transaksi kredit. Padahal, pertumbuhan kredit masih lemah akibat imbas perlambatan ekonomi domestik, sehingga laba perbankan niscaya juga di bawah ekspektasi.
Transaksi kredit bank juga tertekan oleh pemunculan lembaga keuangan pengusung teknologi finansial. Teknologi finansial semakin banyak mengambil segmen pasar kredit usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi penyangga utama pendapatan bank. Pendapatan berbasis biaya, seperti e-money atau e-toll, bisa menjadi bantalan saat kredit masih seret. Tapi penerimaan ini belum mampu menggantikan pendapatan bunga. Konsekuensinya, laba perbankan praktis tidak mengalami kenaikan substansial.
Efisiensi biaya diduga menjadi faktor pengungkit laba. Argumen ini belum cukup memuaskan. Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) bergerak tipis dari posisi 81,01 persen setahun lalu menjadi 78,71 persen per September 2017. Rasio ini pun masih di atas standar 70 persen. Intinya, efisiensi belum berubah signifikan.
Alhasil, kenaikan laba tampaknya ditempuh dengan cara menekan pencadangan kredit macet. Pencadangan disisihkan dari pendapatan pada periode sebelumnya. Pada periode berjalan, pencadangan kemudian diakui sebagai pendapatan. Artinya, kenaikan laba agaknya semu hasil rekayasa akuntansi.
Semunya laba perbankan kian kentara lantaran bank konsisten menambah kepemilikan pada surat berharga guna mendapatkan tambahan pendapatan.Data Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan penempatan dana perbankan di surat berharga per Juli 2017 mencapai Rp 933,2 triliun, tumbuh 10,4 persen year on year.
Posisi dalam surat berharga negara (SBN) tradable (dapat diperdagangkan) juga sama. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bank terus menumpuk SBN jenis ini. Sampai akhir Juli 2017, kepemilikan bank atas SBN ini mencapai Rp 515,27 triliun, meningkat 36 persen year to date dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun lalu.
Keagresifan bank menaruh dana di SBN yang dapat diperdagangkan juga ditopang oleh perbaikan peringkat dan outlook yang positif. Dari sisi regulasi, kebijakan bank sentral pun seolah "merestui". Bank diperbolehkan memegang SBN jenis ini sebagai cadangan sekunder dalam perhitungan giro wajib minimum rata-rata.
Kenyataan di atas membuat bank merasa nyaman menikmati imbal hasil dari kelolaan dananya di instrumen finansial. Di sisi lain, bank terkesan malas menyalurkan kredit. Konsekuensinya, fungsi perbankan mandek. Mandeknya peran intermediasi bank ditengarai sebagai awal terjadinya krisis.
Berkaca dari krisis 1998 dan 2008, fungsi intermediasi perbankan harus dikembalikan. Langkah awalnya adalah mengoptimalkan sisi makroprudensial saat ruang kebijakan moneter menyempit. Kelonggaran Bank Indonesia atas rasio pembiayaan terhadap pendanaan (financing to funding ratio) dengan mengizinkan bank memasukkan obligasi korporasi sebagai pinjaman diyakini membantu penyaluran likuiditas perbankan.
Batasan minimum rasio kredit terhadap nilai agunan, khususnya bagi properti yang akan ditetapkan secara spasial, menjadi peluang bagus. Dengan demikian, bank mampu mengelola ketersediaan dana dan memperluas kredit sehingga meningkatkan konsumsi rumah tangga.
Harus diakui pula, seretnya kredit perbankan bukan semata-mata persoalan pasokan. Masalah utama pasar kredit perbankan di Tanah Air terletak pada sisi permintaan. Rendahnya suku bunga dan ketersediaan pasokan kredit sejauh ini belum menjadi daya tarik bagi debitor untuk datang ke bank dan mengambil kredit.
Agar permintaan kredit segera pulih, optimisme pengusaha harus dibangun terlebih dulu agar mau meningkatkan investasinya. Peran pemerintah melalui percepatan serapan belanja APBN, infrastruktur, dan proyek prioritas diharapkan menjadi penangkal "lingkaran setan" antara perlambatan ekonomi dan pertumbuhan kredit.
Dengan alur logika ini, laba perbankan akan mencerminkan kinerja riilnya. Anomali sektor perbankan sejatinya terjadi karena ada semacam dikotomi antara laporan keuangan dan laporan kinerja. Pada akhirnya, kebijakan yang didesain berbasis laporan kinerja niscaya jauh lebih efektif daripada berdasarkan laporan keuangan di atas kertas.