Apakah Pemerintah Telah Serius Memberantas Kemiskinan?

Penulis

Rabu, 26 Januari 2011 07:28 WIB

TEMPO Interaktif, Pernyataan terbuka yang disampaikan oleh para tokoh agama mengenai 18 kebohongan pemerintah menambah pekerjaan baru pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono untuk menanggapi dan melakukan pembelaan atas tuduhan tersebut. Salah satu tuduhan serius dari para tokoh agama adalah pemerintah dianggap berbohong mengenai data kemiskinan, di mana pemerintah menyatakan jumlah penduduk miskin pada 2010 sebanyak 31,02 juta, seharusnya jumlah orang miskin 70 juta berdasarkan jumlah penerima beras murah untuk warga miskin, atau 76,4 juta berdasarkan penerima Jamkesmas (Tempointeraktif, 10 Januari).
Apakah pemerintah sudah bekerja keras mengentaskan warga dari kemiskinan jauh lebih menarik untuk diulas daripada sekadar tuduhan perbedaan data kemiskinan. Kinerja pemerintah terhadap kemiskinan dapat dijadikan indikator apakah pemerintah berbohong, gagal, lalai, atau tidak bersungguh-sungguh dalam mengentaskan warga miskin.

Marilah kita melihat secara jujur ukuran-ukuran kemiskinan dan data-data statistik mengenai kemiskinan di Indonesia. Ukuran umum yang banyak dipakai sebagai salah satu ukuran kemiskinan adalah nilai kecukupan kalori. Seorang dinyatakan miskin jika konsumsi makanannya kurang dari 2.100 kilokalori (Ravallion, 1994). Nilai uang dari kecukupan 2.100 kilokalori ditambah pengeluaran nonmakanan menjadi garis kemiskinan yang dijadikan ukuran menentukan seorang masuk kategori miskin atau tidak.

Pada 2010, seorang yang pengeluarannya di bawah Rp 232.988 (di perkotaan) dan Rp 192.354 (di pedesaan) digolongkan sebagai kelompok miskin. Berdasarkan garis kemiskinan di atas, jumlah penduduk miskin pada 2010 di Indonesia berjumlah 31 juta (13,33 persen), tahun 2009 berjumlah 32,5 juta (14,15 persen), tahun 2008 berjumlah 34,9 juta (15,42 persen), dan tahun 2007 berjumlah 37,2 juta (16,58 persen).
Jika kita melihat angka di atas, terlihat bahwa kemiskinan berdasarkan ukuran pengeluaran mengalami penurunan yang cukup signifikan. Berdasarkan data ini, pemerintah SBY terlihat sudah bekerja keras mengentaskan warga miskin. Tapi sangat gegabah serta tidak etis dan egoistis jika semua penurunan angka kemiskinan dianggap kerja keras pemerintah sendiri karena hal itu menafikan usaha oleh kelompok miskin sendiri untuk keluar dari jebakan kemiskinan dan peran serta masyarakat sipil.

Kemiskinan dinamis
Analisis kemiskinan statis dengan melihat penurunan angka kemiskinan dari tahun ke tahun tidak sepenuhnya tepat menggambarkan kinerja pemerintah yang sesungguhnya dalam mengentaskan warga miskin. Analisis kemiskinan statis dengan melihat angka statistik dari tahun ke tahun menafikan fakta di mana kemiskinan merupakan entitas hidup yang tumbuh serta berkembang berdasarkan fungsi ruang dan waktu. Analisis kemiskinan dinamis yang menganalisis perubahan kondisi kemiskinan rumah tangga-A dari tahun ke tahun sangat membantu menilai kinerja dan keefektifan program-program pemerintah dalam mengentaskan warga miskin.

Penelitian yang dilakukan oleh Dartanto et al (2011) dengan menggunakan data Susenas 2005 dan 2007 menunjukkan bahwa dari 8.726 rumah tangga yang disurvei pada 2005 dan 2007, sebanyak 1.061 rumah tangga (12,16 persen) dikategorikan miskin, sedangkan 7.665 rumah tangga masuk kategori nonmiskin pada 2005. Sebanyak 786 rumah tangga miskin pada 2005 (72 persen orang miskin) mampu keluar dari jebakan kemiskinan pada 2007. Jika angka ini diklaim buah kerja keras pemerintah, pemerintah tidak berbohong bahwa mereka sudah bekerja maksimal dalam mengentaskan warga miskin. Selain itu, pemerintah boleh sedikit berbangga bahwa kredit usaha kecil yang diluncurkan pemerintah mampu menolong kelompok miskin keluar dari jebakan kemiskinan.

Di sisi lain, 510 rumah tangga bukan miskin pada 2005 jatuh dalam jurang kemiskinan pada 2007. Angka ini menunjukkan bahwa pemerintah gagal, lalai, atau tidak bersungguh-sungguh dalam melindungi kelompok hampir miskin agar tidak jatuh dalam jurang kemiskinan. Selain itu, penelitian ini dan didukung oleh temuan Dartanto serta Nurkholis (2010) menunjukkan, tidak ada bukti statistik (empiris) yang mendukung hipotesis kebijakan pemerintah, seperti beras murah untuk warga miskin dan Askeskin (Jamkeskin), mampu memberantas kemiskinan dan melindungi kelompok mendekati miskin dari ancaman kemiskinan.

Tantangan ke depan
Pemerintah sebaiknya mengarahkan energinya untuk mengatasi ancaman lonjakan harga bahan makanan terhadap kemiskinan akhir-akhir ini daripada sibuk menanggapi dan membela diri dari tuduhan para pemuka agama. Penelitian oleh Dartanto (2010) menunjukkan bahwa lonjakan harga beras domestik sebesar 6,7 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1,8 juta orang. Sedangkan Dartanto dan Usman (2011) menunjukkan kenaikan harga kedelai domestik sebesar 11,5 persen akan meningkatkan kemiskinan sebesar 275.600 orang. Kedua penelitian tersebut menemukan bahwa kebijakan pembebasan impor tarif beras dan kedelai tidak banyak berarti dalam menolong kelompok miskin. Karena itu, pemerintah sebaiknya mengkombinasikan berbagai kebijakan tarif impor dengan kebijakan lainnya, seperti operasi pasar, untuk menolong kelompok miskin dari jebakan kemiskinan.
Para pemuka agama bukanlah kelompok miskin yang terkena dampak lonjakan harga pangan, sehingga pemerintah sebaiknya lebih serius bekerja keras memikirkan strategi yang tepat untuk menolong kelompok miskin ketimbang serius membela diri dari tuduhan kebohongan yang dilontarkan para pemuka agama. *

Advertising
Advertising

Berita terkait

INDEF: Kemiskinan Jadi Tantangan 3 Tahun Jokowi-JK

18 Oktober 2017

INDEF: Kemiskinan Jadi Tantangan 3 Tahun Jokowi-JK

Tantangan 3 tahun Jokowi-Jk adalah akses terhadap pekerjaan minim sehingga menyebabkan kemiskinan.

Baca Selengkapnya

Kemiskinan Struktural dan Bantuan Hukum

27 September 2010

Kemiskinan Struktural dan Bantuan Hukum

Ini potret kelabu kondisi segelintir kaum papa.

Baca Selengkapnya