Azis Anwar Fachrudin,
Penulis
Pada mulanya, manusia adalah bebas. Manusia, dalam kondisi alami-prapolitik, ialah merdeka mutlak. Dalam kondisi ini, kita punya (1) ide Hobbes yang bilang manusia itu berhawa nafsu dan, karena itu, memangsa satu sama lain; dan (2) ide Locke yang bilang manusia itu berakal dan, karena itu, cenderung mencari damai. Tapi, di luar perbedaan itu, keduanya sepakat bahwa manusia adalah bebas secara alami karena tak memiliki otoritas politis dari dan terhadap orang lain.
Manusia kemudian menanggalkan sebagian kebebasannya saat ia memasuki keadaan politis: menjadi anggota masyarakat. Karena itu, otoritas politis yang sah ialah dia yang mendapat pelimpahan hak dari anggota masyarakatnya. Mekanismenya dilakukan dengan konsesi, kesepakatan, atau-istilah Rousseau, inspirator Revolusi Prancis itu-kontrak sosial. Inilah benih demokrasi (konteks zaman Rousseau: gerakan Revolusi Prancis menumbangkan monarki [monarque]; kekuasaan yang terlimpahkan dari Tuhan, bukan kesepakatan rakyat).
Saya menemukan spirit kontrak sosial itu, dalam idenya yang purba, justru di mekanisme "baiat" ala tribalisme Arab-dan mungkin juga di komunitas nomadisme-kesukuan di kawasan lain-yang ada jauh sebelum Revolusi Prancis muncul.
Ada mekanisme antarsuku, agar damai atau terlindungi dari gangguan suku lain, suku yang lemah berpakta-beraliansi (tahaluf) dengan suku yang kuat. Sebagai imbalan perlindungan itu, ada oase atau hasil perburuan yang dijadikan upeti. Nabi Muhammad dulu, setelah Madinah kuat, juga menerima baiat-baiat dari suku-suku di seputar Jazirah Arab.
Baiat adalah mekanisme pelimpahan otoritas itu. Kontrak sosialnya jelas: mana wilayah hak yang didapat dan mana kewajiban yang mesti dibayarkan. Mereka, para suku itu, manusia bebas yang hidup dengan sistem politik yang sederhana, dan tak sekompleks-kalau bukan seruwet-demokrasi kita hari ini, di negeri ini.
Demokrasi kita, secara prosedural, dirayakan dengan pemilu. Tak seperti baiat yang jelas siapa yang berbaiat dan apa kontraknya, saat nyoblos kita sedikit kenal, atau malah tak kenal sama sekali, dengan caleg yang dicoblos. Di sini orang yang baik, yang berusaha memilih dengan nurani, pun rawan tertipu. Bagaimana memilih dengan nurani kalau tak kenal yang dicoblosnya?
Kontraknya pun tak jelas. Sebab, ideologi partai-partai kita berubah-ubah dan sebagian tak jelas jenis kelaminnya. Itu baru partai, belum perilaku calegnya yang semakin menambah keburaman "baiat" macam apa yang hendak diberikan.
Pada kenyataannya, setelah si caleg menjabat, kita tak bisa menuntut hak "baiat" itu. Sebab, pemilu kita bebas tapi rahasia, sehingga si caleg bisa berapologi dengan minimal satu dari dua hal: (1) dengan berkata, "Mana bukti kamu milih saya?"; atau (2) dengan berkata, "Ya, itu salahmu memilih saya! Harusnya kamu pilih yang lain dong!"
Itu satu kemungkinan. Kemungkinan lainnya, boleh jadi kontrak sosial dalam pemilu kita memang sudah jelas, yakni saat masyarakat bersedia memilih caleg tertentu karena si caleg telah sukses melangsungkan serangan fajar yang melebihi jumlah "donasi" caleg lainnya. Pemilu kita, bahkan setelah lebih dari satu dekade seusai reformasi, masih ada yang di-kontrak-sosial-kan dengan uang. *
Berita terkait
Balada Pemasang Baliho
11 Februari 2014
Ratusan baliho yang telah dipasang Pan Darma memenuhi pinggir-pinggir jalan.
Baca SelengkapnyaMega dan Sonia
29 Januari 2014
Tujuh tahun setelah insiden mengenaskan itu, kader Partai Kongres memilih Sonia
Baca SelengkapnyaPolitik Industrialisasi Perikanan 2014
24 Januari 2014
Pada awal 2014 ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengevaluasi perjalanan pembangunan perikanan 2013 dan prospeknya pada 2014. Dari laporan KKP tersebut, aspek-aspek apa saja yang dinilai mengalami kemajuan dan apa yang perlu mendapat catatan khusus untuk perbaikan pada 2014?
Baca SelengkapnyaPeta Politik 2014
30 Desember 2013
Pemilu 2014 juga menjadi warning bagi partai politik Islam.
Baca SelengkapnyaPemilik Televisi Sebagai Aktor Politik
2 November 2013
Susah sekali untuk tidak mengatakan bahwa stasiun-stasiun TV yang disebutkan di atas telah menjadi media propaganda partai atau kepentingan politik pemilik media.
Baca SelengkapnyaPerjuangan Melawan Lupa
25 Juni 2009
Kini waktunya setiap calon pemimpin mengatakan apa saja yang bisa membuat mereka kelihatan lebih unggul dari yang lain.
Baca Selengkapnya