Dice

Penulis

Sabtu, 25 Oktober 1986 00:00 WIB

DICE, rasanya, saya bakal tak pernah tahu siapa sebenarnya yang menyebabkan kematianmu. Apa mau dikata: kau bukan seorang tokoh dalam sebuah roman detektif, korban yang tubuhnya dilubangi dengan 5 butir peluru. Agatha Christie akan dimaki para pembaca, seandainya ia, di ujung cerita, tak menyajikan finalnya yang klasik: Hercule Poirot menunjukkan kepintaran, dan si pembunuh tertangkap. Tapi hidup kita sehari-hari tak diatur oleh Agatha Christie. Hidup sehari-hari lebih muskil, Dice, dan kau adalah bagian dari hidup yang muskil itu. Dalam hidup ini, mana yang benar dan mana yang tak benar tak selamanya bisa dikatakan. Bahkan sering tak dapat ditemukan. Kau ingat, bukan, mayat yang suatu hari di Jakarta yang modern ditemukan terpotong-potong jadi 13? Kita tak tahu siapa yang membunuh. Kita tak tahu siapa yang dibunuh. Dan kini kita tak tahu siapa yang menyebabkan kematianmu. Memang banyak kejahatan yang tak pernah terbongkar dan itu tak cuma perkara korupsi. Jangan terlalu sedih: toh kita tak selamanya pintar sekali. Hidup bukan sebidang teka-teki silang, dengan jawaban yang -- kalau tak bisa kita tebak -- akan tiba pekan depan. Bukankah banyak hal tak punya kamus, tak punya rumus? Bukankah gejala sakit pun -- yang remeh seperti encok di punggung saya -- tak kunjung diketahui apa sebabnya? Repotnya, hidup pendek, dan kita tak bisa selalu sabar. Maka, kita suka mencegat. Sederet dugaan lewat di depan kita, lalu kita mengambil salah satu dan mendekapnya. Kita enggan melepaskannya kembali. Kita kepingin mengadopsinya sebagai kebenaran -- bahkan sering dibayangkan tertulis dengan "K". Kita buru-buru ingin memperoleh yang pasti untuk selama-lamanya. Mungkin itu tanda bahwa kita habis akal. Atau lembek berpikir. Atau malas. Mungkin juga takut -- takut untuk menemukan kebenaran yang tak menyenangkan hati. Karena itu, kita senang dogma dan doktrin. Juga gosip, kabar angin, yang umumnya cuma duga-dugaan yang ditularkan, dan kian menular terasa kian pasti. Dewasa ini, Dice, orang teramat suka menikmati purbasangkanya sendiri. Menyedihkan, memang. Sebab, purbasangka itu seperti rokok: ia bisa mengakibatkan kanker yang lama dan ganas, tapi ia sebenarnya sebuah pernyataan kegelisahan hati. Gelisah karena jengkel, karena frustrasi, karena iseng, karena cemas, atau karena sepi. Dan seperti rokok, purbasangka adalah sesuatu yang bisa mengasyikkan -- dan bisa membikin mata melek terus. Pengisi waktu ngobrol. Tapi kau pun tahu, di hari-hari ini purbasangka tak cuma sendirian. Entah kenapa ada sesuatu dalam diri bangsa kita yang mendorong kita gemar bikin "skenario". Maksud saya: kita gemar membuat teori yang paling seram, tentang suatu kejadian yang sebenarnya sepele saja. Bukankah pernah suatu ketika, sebuah usaha pengumpulan pendapat umum -- dan sebuah pabrik minuman -- dianggap didalangi CIA? Dan dimaklumkan ke publik tanpa dibuktikan? Pembuktian -- itulah yang tampaknya sering tak berlangsung di masyarakat kita, Dice. Padahal, hidup memerlukan itu terus-menerus. "Verifikasi" tak cuma sebuah istilah akuntansi. Karena itu, wartawan perlu melakukannya, kata orang, dengan cek dan cek lagi, Jangan asal tulis. Karena itu, para pejabat juga perlu melakukannya, jangan asal menindak. Tak cukup cuma main asumsi. Namun, bagaimana mungkin pembuktian, verifikasi, cek-dan-cek-lagi, bisa jadi kebiasaan yang sehat, bila kita tak biasa dengan kesangsian? Satu derajat sikap sangsi, satu dosis skeptisisme, apalagi terhadap kesimpulan sendiri, sebenarnya memang perlu. Tapi itu seperti jamu: rasanya tak enak. Paling tidak, sikap skeptis adalah sikap yang mengorek-ngorek keyakinan. Ia tak sememikat sikap yang menawarkan keyakinan. Namun, skeptisisme juga sikap ilmu -- dan sekaligus sikap seorang penyelidik yang ulung. Karena itu, seorang Sherlock Holmes memerlukan seorang Dr. Watson: seseorang yang bertanya, meragukan, dan mendebat asumsi sang jagoan sendiri bukan seseorang yang cuma jadi fotokopi yang mengulang dan kemudian bisu. Mungkin itu sebabnya cerita detektif terbesar dewasa ini berkisah tentang sebuah penyelidikan pembunuhan di sebuah biara tua di Abad Tengah Eropa: The Name of the Rose dari Umberto Eco. Sang penyelidik datang dari Inggris, tanah leluhur filsafat empiris. Ia, seorang rohaniwan dengan semangat keilmuan Sir Francis Bacon, datang ke dalam sebuah lingkungan yang ketakutan, tercekam di bawah bayangan doktrin yang membatu. Ia akhirnya bukan saja menjadi seorang detektif. Ia juga menggugat keyakinan-keyakinan, yang akhirnya ternyata cuma kesimpulan yang tak pernah bisa kekal seperti Tuhan. Di akhir cerita, si pembunuh terbongkar. Sumber rahasia pun tersibak di sebuah perpustakaan, yang selama itu buku-bukunya dilarang disentuh, apalagi ditelaah. Dan biara tua itu runtuh. Tapi sayang sekali kau tak ada dalam cerita itu, Dice, sayang sekali. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Pembunuhan Mayat dalam Koper Terjadi Juga di Bali, Saksi Pergoki Pelaku Penuh Bercak Darah

21 menit lalu

Pembunuhan Mayat dalam Koper Terjadi Juga di Bali, Saksi Pergoki Pelaku Penuh Bercak Darah

Selain di Bekasi, kasus pembunuhan mayat dalam koper juga terjadi di Kuta, Bali

Baca Selengkapnya

Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Polisi Siapkan Tim Khusus Periksa Kejiwaan Tarsum

10 jam lalu

Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Polisi Siapkan Tim Khusus Periksa Kejiwaan Tarsum

Tarsum mengakui telah membunuh dan memutilasi istrinya sendiri

Baca Selengkapnya

Terkuak, Alasan Ayah di Bekasi Hantam Anak Kandung dengan Linggis Hingga Tewas

12 jam lalu

Terkuak, Alasan Ayah di Bekasi Hantam Anak Kandung dengan Linggis Hingga Tewas

Seorang ayah di Bekasi berinsial N, 61 tahun, menghantam anak kandungnya sendiri berinisial C, 35 tahun menggunakan linggis hingga tewas.

Baca Selengkapnya

Polisi Duga Suami Mutilasi Istri di Ciamis Karena Depresi Masalah Ekonomi

16 jam lalu

Polisi Duga Suami Mutilasi Istri di Ciamis Karena Depresi Masalah Ekonomi

Polres Ciamis Jawa Barat, belum dapat memastikan motif pembunuhan dan mutilasi oleh suami ke istri di Dusun Sindangjaya.

Baca Selengkapnya

Ayah di Bekasi Hantam Anak dengan Linggis Hingga Tewas Gara-gara Cekcok Urusan Menantu

17 jam lalu

Ayah di Bekasi Hantam Anak dengan Linggis Hingga Tewas Gara-gara Cekcok Urusan Menantu

Keributan antara bapak dan anak di Bekasi ini dipicu urusan menantu, atau istri dari korban. Si anak minta ayannya mencari keberadaan sang istri.

Baca Selengkapnya

Kanada Tuntut Tiga Tersangka Pembunuhan Pemimpin Sikh, Diduga Terkait India

20 jam lalu

Kanada Tuntut Tiga Tersangka Pembunuhan Pemimpin Sikh, Diduga Terkait India

Polisi Kanada pada Jumat menangkap dan mendakwa tiga pria India atas pembunuhan pemimpin separatis Sikh Hardeep Singh Nijjar tahun lalu.

Baca Selengkapnya

Mayat Perempuan dalam Koper, Pelaku Pembunuhan dan Korban Telah Dua Kali Berhubungan Intim

1 hari lalu

Mayat Perempuan dalam Koper, Pelaku Pembunuhan dan Korban Telah Dua Kali Berhubungan Intim

Pelaku pembunuhan dan korban telah dua kali berhubungan intim. Permintaan korban untuk segera dinikahi membuat pelaku marah.

Baca Selengkapnya

Kasus Mayat dalam Koper, Pelaku dan Korban Sempat Bertemu di Kantor Sebelum ke Hotel

1 hari lalu

Kasus Mayat dalam Koper, Pelaku dan Korban Sempat Bertemu di Kantor Sebelum ke Hotel

Polisi menyatakan kronologi kasus mayat dalam koper bermula ketika pelaku bertemu korban di kantor.

Baca Selengkapnya

Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Potongan Tubuh Dikumpulkan di Depan Rumah Warga

1 hari lalu

Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Potongan Tubuh Dikumpulkan di Depan Rumah Warga

Seorang suami memutilasi istrinya. Pelaku diduga mengalami gangguan jiwa.

Baca Selengkapnya

Kasus Mayat dalam Koper, Pelaku Pakai Uang Kantor Sebesar Rp 7 Juta

1 hari lalu

Kasus Mayat dalam Koper, Pelaku Pakai Uang Kantor Sebesar Rp 7 Juta

Pelaku kasus mayat dalam koper gunakan uang kantornya sebesar Rp 7 juta untuk kabur.

Baca Selengkapnya