Drucker Peter Drucker

Penulis

Sabtu, 6 Desember 1986 00:00 WIB

KITA tampaknya makin memerlukan para spesialis baru -- spesialis perubahan. Tiap saat diam-diam ada yang berubah di dunia ini. Dan sejak itu, hidup manusia bakal tak bisa berulang lagi seperti hidup yang dulu. Tapi kita tak tahu persis bagaimana. Mungkin karena itu kita butuh orang seperti Alvin Toffler atau Peter Drucker atau Sukinem atau Ali Baronang atau siapa saja yang bisa menganalisa dan menunjukkan dengan meyakinkan (dan mungkin dengan kecemasan), "Nak, dunia berubah lebih cepat dari mimpi. Harapanmu kemarin sore lebih baik kau copot pagi ini." M. Hadi Soesastro, ahli ekonomi yang selalu mengesankan data, analisa, dan daya tiliknya itu, suatu hari memberi saya satu kopi risalah Peter Drucker dalam Majalah Foreign Affairs, "The Changed World Economy". Perubahan-perubahan fundamental yang bergerak dalam perekonomian dunia, yang selama ini tak kita sadari sepenuhnya tiba-tiba jadi terang bagi saya di sana. Dan sedikit mengecutkan. Tak seluruh tulisan Drucker sebuah pernyataan baru. Namun, bagi yang orang yang datang dari negeri Dunia Ketiga, Drucker bisa seperti membawa kabar kemalangan. Kita sudah tahu bahwa hasil bahan mentah yang dijual oleh negeri seperti Indonesia ke pasaran dunia selalu terombang-ambing harganya. Hari ini apa lagi: nilai bahan mentah sudah "rubuh", kata Drucker. Menjelang awal 1986, harga bahan mentah, jika dihubungkan dengan harga jasa dan barang hasil industri, menurut Drucker, berada pada "tingkat paling rendah dalam catatan sejarah". Pada umumnya bahkan serendah harga di hari-hari tersuram Depresi Besar tahun 1930-an -- ketika petani karet dari Sumatera bicara sedih tentang "aman meleset ". Yang menarik ialah, kata Drucker pula, teori ekonomi lama tak terbukti: merosotnya perekonomian bahan mentah itu hampir tak punya dampak buruk pada perekonomian dunia industri. Memang kini ada gejala ekonomi melembek di "Utara" yang industrial itu, tapi yang terjadi bukan suatu depresi. Kesimpulan Drucker: perekonomian bahan mentah kini sudah "lepas kaitan" dari perekonomian industrial. Yang terakhir tak begitu butuh lagi apa yang dihasilkan oleh yang pertama. Barang hasil teknologi kian sedikit perlu hasil tambang atau hasil hutan. Lihatlah kawat tclepon: 50 atau 100 pon kabel yang dibuat dari fiberglass bisa sama bagusnya dengan satu ton kabel tembaga. Maka, bernasib buruklah negeri penghasil tambang tembaga. Dan ketika negeri seperti ini, seperti Indonesia ini, ingin jadi negeri industri juga, agar tak terpojok terus, pertanyaan yang timbul: Apa kelebihannya buat bersaing dengan negeri industri yang sudah lebih dulu maju? Jawabnya yang lazim: kita punya ongkos buruh yang lebih murah dibanding dengan mereka. Sayangnya, Drucker menunjukkan perubahan yang kini terjadi. Perekonomian industrial juga telah "lepas kaitan" dari soal tenaga kerja. Trend ini sebetulnya tak baru. Tapi kini prosesnya kian cepat, bersama cepatnya penemuan teknologi baru ke arah otomatisasi. Di Jepang beberapa tahun yang lalu saya pernah melihat pabrik yang hampir sepenuhnya menggunakan robot untuk membuat mesin -- dan karena robot, bisa 24 jam bekerja terus, tak bikin kesalahan dan tak ikut serikat buruh. Drucker menyebut apa akibatnya. Pabrik televisi Motorola dan RCA di Amerika pernah terancam bangkrut karena disaingi pabrik lain, yang menggunakan tenaga buruh murah di negeri seberang. Mereka segera melakukan otomatisasi. Mereka selamat. Dan bila kelak pabrik tekstil dan pabrik pakaian jadi di AS atau Jepang menemukan cara yang sama, kita tahu apa pengaruhnya. Ongkos tenaga kerja yang murah pada akhirnya akan tak begitu penting seperti ongkos yang dibayar buat mendapatkan modal. "Bagi Dunia Ketiga," tulis Drucker, "terutama bagi negeri yang sedang dengan cepat menjalankan industrialisasi . . . ini berarti berita buruk." Tapi tak semua pintu tertutup. Yang jadi persoalan besar ialah bahwa tak cukup tersedia konsepsi, dan mungkin sejenis keberanian, yang membimbing banyak orang dibuat memilih pintu yang mana. Drucker berbicara tentang bagaimana gerakan modal, nilai mata uang, dan arus kredit kini lebih besar ketimbang arus barang dan jasa, dan bagaimana "aksioma makroekonomi" selama ini guyah: perekonomian nasional tak sepenuhnya lagi bisa dianggap jadi satuan yang otonom. Jika kita slmak Drucker, ia tampaknya ingin menunjukkan bagaimana banyak negara kini harus berpikir lagi tentang apa arti "kedaulatan ekonomi", bahkan harga diri dan apa pula makna "ketergantungan". Suatu lembaga pengambilan keputusan yang "supranasional" harus dipikirkan terutama buat negeri seperti AS, Jerman, Jepang. Dan negeri-negeri berkembang seperti Meksiko harus bersedia menyimak kembali impian klasiknya yang tak ingin terpaut ("tergantung"?) dengan tetangganya yang lebih maju d Utara. Tak pelak lagi: yang suka Marx, atau Keynes, atau Gunder Frank, si Polan, dan lain-lain teori ekonomi, memang perlu merenung kembali. Drucker sendiri tak menawarkan pilihan lain. Sebagian pendapatnya bisa disoal, tapi perubahan yang dipaparkannya membuat saya -- dan mungkin juga Anda -- tak bisa cuma mengulang kajian lama. Goenawan Mohamad

Berita terkait

7 Tahun Berdiri, AMSI Dorong Ekosistem Media Digital yang Sehat

5 hari lalu

7 Tahun Berdiri, AMSI Dorong Ekosistem Media Digital yang Sehat

Selama tujuh tahun terakhir, AMSI telah melahirkan sejumlah inovasi untuk membangun ekosistem media digital yang sehat dan berkualitas di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers Tak Masukkan Perusahaan Pers dalam Komite Publisher Rights, Ini Alasannya

5 Maret 2024

Dewan Pers Tak Masukkan Perusahaan Pers dalam Komite Publisher Rights, Ini Alasannya

Komite Publisher Rights bertugas menyelesaikan sengketa antara perusahaan pers dan perusahaan platform digital.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers Bentuk Tim Seleksi Komite Publisher Rights

5 Maret 2024

Dewan Pers Bentuk Tim Seleksi Komite Publisher Rights

Ninik mengatakan, Komite Publisher Rights penting untuk menjaga dan meningkatkan kualitas jurnalistik.

Baca Selengkapnya

Ekonom Sebut Penerapan Perpres Publisher Rights Harus dengan Prinsip Keadilan

23 Februari 2024

Ekonom Sebut Penerapan Perpres Publisher Rights Harus dengan Prinsip Keadilan

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan Perpres Publisher Rights mesti diterapkan dengan prinsip keadilan.

Baca Selengkapnya

Jokowi Teken Perpres Publisher Rights, Atur Kerja Sama Lisensi hingga Bagi Hasil Platform Digital dengan Perusahaan Pers

23 Februari 2024

Jokowi Teken Perpres Publisher Rights, Atur Kerja Sama Lisensi hingga Bagi Hasil Platform Digital dengan Perusahaan Pers

Pemerintah bakal mengatur hubungan kerja sama platform digital dengan perusahaan pers setelah Presiden Jokowi meneken Perpres Publisher Rights.

Baca Selengkapnya

Perpres Publisher Rights Disahkan, Meta Yakin Tak Wajib Bayar Konten Berita ke Perusahaan Media

22 Februari 2024

Perpres Publisher Rights Disahkan, Meta Yakin Tak Wajib Bayar Konten Berita ke Perusahaan Media

Meta menanggapi Perpres Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.

Baca Selengkapnya

Jokowi Sahkan Perpres Publisher Rights, Bisa Pengaruhi Kebebasan Pers?

22 Februari 2024

Jokowi Sahkan Perpres Publisher Rights, Bisa Pengaruhi Kebebasan Pers?

Jokowi teken Perpres No. 32 tahun 2024 mengatur Platform Digital dalam mendukung industri jurnalisme berkualitas. Apakah mempengaruhi kebebasan pers?

Baca Selengkapnya

AMSI Optimistis Perpres Publisher Rights Dorong Ekosistem Bisnis Media Jadi Lebih Baik

21 Februari 2024

AMSI Optimistis Perpres Publisher Rights Dorong Ekosistem Bisnis Media Jadi Lebih Baik

Perpres Publisher Rights dinilai membuka ruang bagi model bisnis baru di luar model bisnis yang mengandalkan impresi atau pencapaian traffic.

Baca Selengkapnya

Jokowi Teken Perpres Publisher Rights, Apa Artinya bagi Perusahaan Pers Indonesia?

21 Februari 2024

Jokowi Teken Perpres Publisher Rights, Apa Artinya bagi Perusahaan Pers Indonesia?

AMSI optimistis Perpres Publisher Rights akan membuka jalan bagi negosiasi bisnis yang setara antara platform digital dan penerbit media digital.

Baca Selengkapnya

Media Asing Soroti Perpres Publisher Rights yang Diteken Jokowi

21 Februari 2024

Media Asing Soroti Perpres Publisher Rights yang Diteken Jokowi

Jokowi mengatakan semangat awal dari Peraturan Presiden tentang Publisher Rights adalah ingin membentuk jurnalisme berkualitas.

Baca Selengkapnya