Ratu

Penulis

Sabtu, 16 Februari 1985 00:00 WIB

ADA gang memberinya julukan "Katherine yang Agung". Seorang lain mcncemoohnya sebagai Queen Kate. Saya pernah bertemu dengannya di scbuah jamuan makan siang di Jakarta, kira-kira scmbilan tahun lalu, ketika ia berkunjung sebentar ke Indonesia, sebagai anggota Komisi Willy Brandt. Saya tak tahu apakah itu bisa disebut keberuntungan seorang wartawan, atau cuma keladlan walar saJa, tayi setldaknya saya sekarang bisa pamer bahwa saya pernah makan siang dengan Katherine Mayer Graham pemilik utama harian The Washington Post dan majalah Newsweek - meskipun apa yang dibicarakan siang itu, kecuali basa-basi, tak pernah saya ingat lagi. Seorang teman kemudian mengatakan, itu berarti saya mcmang pernah satu meja makan dengan "salah seorang wanita paling berkuasd di dunia". Nyonya Graham sendiri, lembut, elegan, hampir tanpa perhiasan (kecuali seuntai kalung mutiara yang halus di lehernya), berbicara dengan suara yang sangat beradab: tak ada dari kehadirannya yang hendak meninggalkan stempel kekuasaan ia toh tak memeriahkan itu. Ia sudah terbiasa dengan jitu. Ia sudah terbiasa dengan kekayaan, yang membawa status sosial yang tinggi, sejak kecil. Ia sudah terbiasa dengan segala hal yang kemudian berkembang dari posisi itu. Bahkan ketika ia berumur 21, ia tanpa ramai-ramai bekerja sebagai seorang staf The Washington Post, di awal tahun 40-an. Gajinya cuma US$ 25 seminggu, tugasnya cuma di bagian "Surat Pembaca". Bedanya dengan para karyawan lain: Katherine yang pemalu ini adalah anak sang pemilik koran, Eugene Meyer. Bapaknya berkata, "Jika tak berjalan semestinya, akan kita copot dia" - tapi si gadis tak dapat disingkirkan. Soahlya, ia bekerja keras, diam-diam, dan tak pernah nongol di ruang para reporter. Kehadirannya di harian besar itu memang baru terjadi bertahun-tahun kemudian. Dan semuanya berkembang setelah sebuah tragedi. Juni 1940, putri Mayer ini menikah dengan seorang pemuda lulusan Harvard yang cemerlang. Namanya Philip Graham. Dialah yang kemudian menggantikan mertuanya sebagai pemegang kendali The Post. Di bawah Philip, koran itu semakin unggul dan semakin besar, tapi kemudian sesuatu terjadi dalam diri Graham. Di hari Sabtu sore bulan Agustus 1963, ia masuk ke kamar mandi, duduk di tepi tempat berendam, lalu meetakkan laras bedil di pelipisnya sendiri picu ia tarik, dan peluru meledak ke kepalanya. Lalu Katherine mewarisi apa yang ditinggalkan oleh ayah dan suaminya. Ia pun menjadi semacam maharani di sebuah gedung di Madison Avenue di New York - setidaknya bila kita melihat media massa sebagai kerajaan tersendiri. Namun, benarkah ia seorang wanita paling berkuasa di dunia? Tom Kelly, yang memulai kariernya sebagai copyboy di The Washington Post, di tahun 198 menulis buku tentang koran terkemuka itu dengan menyebutnya sebagai The Imperial Post. Ia bercerita tentang keluarga Meyer, keluarga Graham, dan "surat kabar yang mengatur Washington". Tapi membaca buku ini tak menyebabkan saya yakin bahwa sebuah koran dapat memerintah sebuah masyarakat. The Washington Post memang telah berhasil membongkar kecurangan Nixon dalam skandal Watergate, tapi bukan koran itu yang memakzulkannya dari kursi keprcsidenan. Yang menyebabkan Nixon turun adalah sistem oolitik Amerika sendiri. Maka, jika ada pelajaran yang bisa dipetik dari kasus itu ialah bahwa sebuah surat kabar atau sebuah majalah pada akhirnya hanya salah satu unsur dalam proses kejadian kejadian. Dan setahu saya, di masyarakat mana pun, tidak di Cina tidak pula di Amerika, tidak di Uni Soviet tidak pula di Iran, belum pernah ada sebuah penerbitan yang berhasil memonopoli kekuasaan terhadap pendapat orang banyak. Di tiap masyarakat, selalu akan terjadi kebinekaan sikap dan pendirian. Pepatah lama kita memang benar, "kepala sama berbulu, pendapat berlainan". Mungkin itu sebabnya di Uni Soviet tetap ada Izvestia di samping Pravda, di Cina tetap ada Remin Ribao dan koran-koran pemerintah yang lain. Dan apapun yang dikatakan kaum Marxis, di negeri-negeri kapitalis konsentrasi pemilikan koran dan majalah di satu kelompok tak menyebabkan kescmpatan publik untuk berbeda pilihan menjadi punah. Lenin memang pernah mengatakan pada tahun 1917 bahwa "bagi kaum borjuis, kemerdekaan pers berarti kemerdekaan si kaya untuk menerbitkan, dan kemerdekaan si kapitah untuk menguasai surat-surat kabar". Hasilnya, "Suatu pers yang korup," kata pemimpin Bolsyewik itu. Dengan kata lain, ia menganggap hubungan antara kekuasaan modal dan kekuasaan atas opini dapat ditarik secara langsung. Tapi kenyataan sejarah agaknya tak seluruhnya berjalan demikian. Yang aneh ialah bahwa pendapat (atau kecemasan) ala Lenin itu tetap saja laku. Bahkan di Indonesia. Tapi saya pernah makan siang dengan Katherine Graham, sebentar, dan mungkin itu sebabnya saya tidak begitu percaya. Goenawan Mohamad

Berita terkait

7 Tahun Berdiri, AMSI Dorong Ekosistem Media Digital yang Sehat

1 hari lalu

7 Tahun Berdiri, AMSI Dorong Ekosistem Media Digital yang Sehat

Selama tujuh tahun terakhir, AMSI telah melahirkan sejumlah inovasi untuk membangun ekosistem media digital yang sehat dan berkualitas di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

2 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

3 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

12 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

53 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

58 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

58 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers Tak Masukkan Perusahaan Pers dalam Komite Publisher Rights, Ini Alasannya

59 hari lalu

Dewan Pers Tak Masukkan Perusahaan Pers dalam Komite Publisher Rights, Ini Alasannya

Komite Publisher Rights bertugas menyelesaikan sengketa antara perusahaan pers dan perusahaan platform digital.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers Bentuk Tim Seleksi Komite Publisher Rights

59 hari lalu

Dewan Pers Bentuk Tim Seleksi Komite Publisher Rights

Ninik mengatakan, Komite Publisher Rights penting untuk menjaga dan meningkatkan kualitas jurnalistik.

Baca Selengkapnya

Ekonom Sebut Penerapan Perpres Publisher Rights Harus dengan Prinsip Keadilan

23 Februari 2024

Ekonom Sebut Penerapan Perpres Publisher Rights Harus dengan Prinsip Keadilan

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan Perpres Publisher Rights mesti diterapkan dengan prinsip keadilan.

Baca Selengkapnya