MALAM, kita tahu, tak pernah hilang seluruhnya dari muka bumi yang satu. Siang dan terang bisa hadir di sini sekarang, tapi di sana? Gelap (dan segala yang seram) bisa berlangsung di saat yang sama. Dengarlah, umpamanya, cerita dari Dubno. Anda tak perlu tahu persis di mana kota itu di Ukraina yang penting, peristiwa ini terjadi 5 Oktober 1942. Di sana, di dekat suatu bangunan militer Jerman, tiga lubang besar telah digali: 30 meter panjangnya dan tiga meter dalamnya. Sejak beberapa hari sebelumnya, tiap pagi, 1.500 orang Yahudi ditembak dan ditimbun di situ. Tiap hari truktruk pasukan SS kebanggaan Hitler itu datang, mengangkut laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua. Tiap hari - sampai ke-5.000 orang Yahudi di Dubno itu habis peluru berbunyi, darah muncrat dan tubuh terjungkal. "Saya melihat sebuah keluarga yang terdiri dari delapan orang," tutur seorang arsitek Jerman yang menyaksikan kejadian itu. " . . . Sang ayah memegang tangan seorang anak berumur sekitar 10 tahun, dan berbicara pelan kepadanya si anak mencoba menahan tangis. Si ayah menunjuk ke langit. mengelus kepala si bocah, dan seperti menerangkan sesuatu kepadanya...." Lalu tembakan bcrderai. Seorang prajurit SS, yang duduk berjuntai di ujung lubang besar itu sembari merokok, menembakkan senapan mesinnya ke arah mereka: ayah itu, anak itu, nenek itu, bayi itu, jatuh hampir satu demi satu. "Saya berjalan mengitari gundukan tanah itu, dan berhadap-hadapan dengan sebuah liang lahad yang amat besar," kata saksi itu pula. "Orang berhimpitan, dan tergeletak, yang satu dl atas yang lam, hingga cuma kepala mereka yang kelihatan. Hampir semuanya menampakkan darah yang mengalir dari kepala. Beberapa di antaranya masih bergerak-gerak. Beberapa masih mengangkat tangan dan menengok, buat menunjukkan bahwa mereka masih hidup. Lubang itu sudah dua pertiga penuh. Saya kira ada sekitar seribu orang sudah tergolek di sana. Jika kemudian orang menangis karena cerita sepertl itu, orang tak hanya menangis untuk 5.000 Yahudi yang terkubur di Dubno. Orang menangis (mungkin juga kaget, mungkin juga gentar) karena manusia. Kesaksian dari Dubno itu dibacakan beberapa tahun kemudian di Nuremberg, ketika para pembantu Hitler diadili sebagai penjahat perang setelah mereka kalah. Yang mernbacakannya seorang Inggris yang bertindak sebagai penuntut utama. Beberapa puluh tahun pun berlalu, lalu di tahun 1984, anak sang penuntut jadi seorang dewasa. Namanya William Shawcross. Ia menulis sebuah buku tentang kekejaman - kali ini tentang Kamboja. Shawcross menulis The Quality of Mercydan mengutip kembali kesaksian dari Dubno itu - kesaksian yang selalu teringat olehnya, karena ayahnya menyimpan rekaman yang mengerikan itu. Lalu tiba-tiba kita sadar, seperti ia tersadar, bahwa setelah Dubno, setelah sekian pembunuhan masal yang lain (dan tak cuma di Eropa, kita tahu), orang ternyata masih bisa melakukan hal yang sama. "Saya tak pernah berharap dan jelas tak pernah ingin melihat pemandangan yang seperti itu sendiri," tulis Shawcross di bagian awal bukunya. "Tapi di Kamboja saya akhirnya melihat sesuatu yang serupa". Mengapa? Bukankah kita, kata orang, telah belajar dari sejarah? Bukankah melalui proses itu manusia bergerak menjadi lebih beradab? Tampaknya, tak seorang pun kini bisa yakin lagi bahkan Pada saat yang sama ketika di Dubno sejumlah keluarga, anak beranak, dikuburkan bertimbun-timbun, beberapa ratus kilometer saja jauhnya orang punya kesibukan lain. Seperti dikatakan oleh satu kutipan dalam The Quality of Mercy, pada saat pembunuhan semacam itu terjadi, orang-orang lain di tempat lain mungkin sedang tidur nyenyak atau makan atau nonton film atau bermain cinta atau sedang risau karena sakit gigi. Tak tahukah kita tentang gelap di tempat lain ? Mungkin kita tak tahu. Terlupakah kita tentang algojo di pekan lalu? Mungkin kita terlupa. Shawcross mengutip Milan Kundera tepat pada satu bagian yang menggugah dalam The Book of Laughter and Forgethng: " . . . pembantaian besar-besaran di Bangladesh dengan cepatnya menutupi kenangan tentang serbuan Rusia ke Cekoslovakia pembunuhan atas Allende menenggelamkan rintihan dari Bangladesh perang di padang pasir Sinai membuat orang lupa akan Allende penjagalan besar di Kamboja membuat oranK terlupa akan Sinai dan seterusnya dan seterusnya, sampai pada akhirnya tiap orang membiarkan tiap hal dilupakan." Paradoks, yang mungkin ganjil, yang kita alami sekarang ialah bahwa semakin banyak kita tahu, lewat informasi yang cepat dan mencakup luas, semakin kita gampang untuk tak ingat lagi tentang apa yang kita tahu. Mungkin karena kapasitas penyimpanan di kepala kita terbatas. Mungkin karena di zaman ini jarak telah bercampur ilusi: apa yang kita lihat dekat, di layar televisi, sebenarnya jauh dari menyentuh kulit kita. Apa pun sebabnya, pada saat kita tahu sejumlah fakta, pada saat itu pula kita merasa tak mampu lagi untuk kaget. Dan tentang esok, kita pun akhirnya menyerah: kita hanya punya bekal yang tak bersisa. Goenawan Mohamad