SAYA pernah berkenalan dengan seorang profesor yang punya anjing besar dan pacar Prancis yang cantik di sebuah kota di Australia. Mereka (kecuali anjingnya) tampaknya selalu punya perhatian biarpun sedikit, tentang cendekiawan Indonesia dan keanehan-keanehannya. Dalam suatu jamuan makan, sang pacar Prancis berkata tentang salah satu keanehan itu, "Saya heran bahwa Anda di Indonesia sangat menyukai Albert Camus." Mengapa heran? tanya saya. Karena sikap Camus dalam perang kemerdekaan bangsa Aljazair, jawabnya. Camus, tentu saja, lebih dari sekadar sebuah sikap yang tidak jelas dalam memandang perang AlJazair. Tapi memang aneh luga rasanya bahwa ia begitu banyak jadi buah bibir di Indonesia. Sandiwaranya, Caligula, pernah dipentaskan oleh Asrul Sani dan Arifin C. Noer. Pikiran-pikirannya sering dikutip oleh Arief Budiman, Wiratmo Soekito, ataupun Nono Makarim. Bahkan satu kalimatnya pernah untuk sebuah semboyan demonstrasi kecil di Medan. Pekan lalu novelnya La Peste, yang diterjemahkan Nh. Dini, ditampilkan dalam sebuah diskusi khusus. Dua buah tulisan panjang, antara lain di halaman pertama, muncul pula di Kompas. Ya, mengapa justru Camus? Sebagian tentu karena orang ini, dengan namanya yang ganjil itu, merupakan bagian dari bayangan kita tentang parafarnelia Paris. Ia telah didahului dengan sederet introduksi: lintasan kafe-kafe, para pelukis berbaret, musik pada akordeon, sebuah jembatan di atas Seine, dan lain-lain hal yang kita angankan melalui pelbagai film Hollywood, cerita Hemingway, dan sajak Sitor Situmorang. Lalu kita bicara, seraya meninggikan kerah baju malam-malam, di Malioboro atau Senen, tentang "eksistensialisme" serta "absurditas". Sartre, Camus, Simone de Beauvoir, gadis-gadis semampal dengan rambut tergeral dan suara mendesah seperti Francoise Hardy.... Tapi minggu. Perkara Camus tentu lebih serius ketimbang semua itu. La Peste, atau Sampar dalam terjemahan Nh. Dini, bercerita tentang wabah pes yang aneh di Oran, Aljazair, di sebuah tahun yang tak disebutkan dalam tahun 40-an. Pejabat pemerintah setempat tak berdaya, rakyat hilang harap. Hanya lima lelaki yang dengan hati dan kulit tebal melawan pes yang merenggutkan nyawa satu demi satu itu. Menghadapi apakah sesungguhnya keberanian yang sedemikian ini? Di Prancis yang baru bebas dari pendudukan Hitler pada tahun 40-an, pes itu konon sebuah kiasan untuk suasana di bawah Nazi. Tapi mungkin bukan itu yang sebermula dimaksud Camus. Sebab, pes juga bisa sebuah metafora lain untuk kita, ketika, seperti di Oran, masyarakat runtuh tapi pemerintah menyembunyikan kenyataan di belakang kalimat-kalimat birokratis, koran-koran pandai menghibur, dan para pejahat mengatakan"tak ada tikus di gedung itu, sementara hean itu mati berserakan. Dan di luar, orang ramai tak punya perlawanan sedikit juga, kecuali kelima laki-laki itu, yang ketika novel selesai, tingKal Dokter Rieux yang bicara: ia tahu, sampar tak bisa sepenuhnya punah. Di sini kita memang kemudian bisa bertanya kepadanya tentang segala upaya heroik yang dilakukan: Untuk apa semua itu, selain, pada akhirnya, yang tampak adalah lima bayang-bayang samurai spiritual? Kesulitan kita dengan para samurai spiritual itu ialah bahwa pada akhirnya mereka mendekati aura orang suci - yang bersih dan berkorban - sementara di dunia yang terjadi adalah hal lain: kita toh tak dapat mengubah sejarah yang buruk dengan dasar asumsi akan hadirnya para santo. Seperti kritik Sartre dan kaum kiri lain kepada Camus, penulis La Peste menolak politik dan mencari tempat teduh dalam moralitas. Dan itulah salah satu bibit kekikukan posisinya dalam mengambil sikap terhadap perang kemerdekaan bangsa Aljazair. Camus lahir di tanah jajahan itu, tapi ia bukan orang Arab. Ia punya simpati besar kepada orang pribumi yang tertindas - pengarang ini lahir di kalangan miskin - tapi ia tetap tak bisa menerima Front Pembebasan Nasional Aljazair yang melemparkan bom ke khalayak kulit putih yang sipil. Ia juga tak ingin Aljazairnya nantl adalah Aliazalr yang hanya Arab - dan itulah sebabnya Camus adalah seorang yang anti-Nasser. Walhasil, ia berdiri sunyi, dicerca teman-temannya yang lebih kiri dan lebih kanan - sementara Aljazair tak diselamatkan oleh santo dan samurai tanpa pedang. Mungkin, itulah konsekuensi sedih seorang sastrawan yang akhirnya tak bicara hanya sebagai sastrawan, melainkan juga sebagai suluh moral. Simone de Beauvoir mengejeknya sebagai "Santo Camus". Ia dengan demikian tak boleh salah, tak boleh cacat. Tak boleh ragu. Jelas, sebuah beban berat. Malah sebuah tuntutan yang mustahil. Terutama bagi seseorang, yang sejak mula, menyadari bahwa hal ihwal di alam semesta ini tak sepenuhnya bisa dimengerti maknanya. Bahwa manusia itu terbatas. Bahwa dengan batas itu - dengan tak menjadi mutlak itu - ia justru bisa lebih asyik dan mengasyikkan. Tapi salahkah Camus? Saya tak pandai betul untuk menyalahkannya. Saya hanya kadang kecewa bahwa ia di sana sini tak bersiteguh untuk "bicara lebih sedikit" . Beberapa sandiwaranya bukanlah kesenian yang pada akhirnya menggugat diri dan retorikanya sendiri - seperti yang ia inginkan. Tapi siapa yang mematkan kesusastraannya untuk memperbaiki dunia memang harus menanggung risiko itu: ia suatu ketika akan jadi pemberi wejangan, dan sekaligus calon tertuduh untuk kemunafikan baru. Goenawan Mohamad