Snouck

Penulis

Sabtu, 19 Januari 1985 00:00 WIB

SEORANG penyair Turki abad ke-19, Namik Kemal, menuliskan pujaannya kepada tanah air dengan sebuah kalimat yang mungkin tak akan berulang dalam sejarah. Di Tanah Usmani inilah, tulis Kemal, Kristus dilahirkan dan diangkat ke surga, cahaya Tuhan turun ke Musa, bahtera Nuh berlabuh dan "dari nyanyi Daud sampai dengan lenguh Sokrates, akal dan agama saling menjaga." Sajak Kemal berakhir dengan seruan: Ulurkan tanganmu, o, tanah airku, ke kebun sang Nabi/ Gosokkan tubuhmu, hitam, di Kaabah suci. Bagi Namik Kemal dan orang-orang sezamannya, ketika Imperium lsmani, yang disebut orang Barat sebagai "Ottoman", masih membentang luas dari pucuk Afrika sampai ke pinggir Eropa, pengertian tentang "tanah air" memang penuh dengan tanda tanya yang resah. "Kita membayangkan," tulisnya di tahun 1873, "bahwa perbedaan ras serta agama di antara orang-orang senegeri kita akan membawa keambrukan total negeri ini." Tapi Kemal memberi jaian keluar. Seperti tersirat di akhir sajaknya, Imperium Usmani bisa berpadu dengan mengambil warna Islam, dari "kebun sang Nabi". Apakah yang dikehendaki Namik Kemal: keunggulan negeri di bawah Kesultanan Usmani atau persatuan Islam? Di masa itu, perbedaan antara kedua hal itu tampaknya memang belum mendapat bentuknya yang persis. Yang terasa dengan intens adalah konfrontasi - bukan cuma dalam ide-ide, tapi juga dalam bentuk perang perebutan wilayah - antara kekuasaan "Kristen" dari Eropa dan kerajaan-kerajaan orang Islam di Asia dan Afrika. Yang jadi kemasygulan, juga, ialah rasa mandek dan tak berdaya bagi pihak yang terakhir. Sementara itu, yang bisa diandalkan, secara fisik, hanyalah Kesultanan Usmani vang menjulang bagaikan mercu suar. Tentu saja harus dicatat: kesultanan itu sebenarnya suatu tampuk yang goyah dari luar dan dalam. meskipun kemilaunya masih tampak dari seberang Selat Bosporus. Di bawah Sultan Abdul Hamid II, yang memerintah menjelang pembuka abad ke-20, semangat "Pan-Islamisme" pun dihantarkan ke mana-mana, termasuk ke Jepang. Kemenangan Sultan dalam perang dengan Yunani di tahun 1897, meskipun sebenarnya cuma sebuah konflik setempat, dapat sambutan umat Islam di banyak penjuru. Dan pada gilirannya mereka sendiri bangkit melawan kekuasaan Barat yang menjajah ditanah mereka. Tak heran (meskipun agak menggelikan) bila di masa itu di koloninya di Timur orang Belanda juga cemas. "Persoalan Islam" menjadi persoalan pokok untuk Hindia Belanda - yang sebagian besar rakyatnya memang Muslim dan memang berkali-kali angkat senjata. Untuk menjawab "persoalan" itulah kemudian datang Snouck Hurgronje. Yang menarik ialah bahwa val1g ia takuti bukan umat Islam di Indonesia an sicth, melainkan umat itu dan hubungannya dengan "Pan-Islamisme". Di tahun 1911 terbit bukunya, Nederland en de Islam. Di sana ia menawarkan sesuatu yang dianggapnya merupakan alternatlf, bahkan suatu tandingan, bagi "pan-Islamisme", yakni penyatuan antara rakyat Muslim di Timur itu dan rakyat Sri Ratu di Barat. Kelak, tulisnya, "Hanya akan ada Nederland Timur dan Barat, yang secara politik dan kebangsaan membentuk suatu kesatuan, tanpa peduli perbedaan mereka dalam ras." Snouck percaya, Islam dan agama Kristen dalam "kehidupan nasional yang praktis akan dapat saling menenggang, selama ide 'Pan-Islamisme' disisihkan". Yang tak diduga Snouck di tahun 1911 itu ialah bahwa "Pan-Islamisme" terbenam justru oleh suatu semangat kebangsaan yang lain. Kesultanan Usmani sendiri berhenti jadi pegangan dan harapan: Sultan Abdul Hamid II, otokrat vang penuh kuasa dan juga kesepian di Istana Yildiz, membungkam Namik Kemal sebelum mati. Sang penguasa, dengan membawa nama Islam, tak segan-segan menyingkirkan seorang cendekiawan, yang mengiginkan kemerdekaan, juga atas nama Islam. Di Mesir yang dulu termasuk wilayah Usmani orang pun akhirnya membangkang mereka meneriakkan seruan "Mesir buat orang Mesir" - suatu imbauan persamaan bangsa, bukan persamaan agama. Dan di Indonesia, gerakan Islam pun jumbuh dengan gerakan nasionalis tanpa bendera hijau berbulan bintang, dan Sarekat Islam surut untuk digantikan dengan yang lain. Snouck jelas kecele - juga Namik Kernal. Sejarah politik akhirnya gagal menampakkan satuan-satuan besar. Hanya variasi-variasi kecil, karena, untuk bergabung jadi satu, manusia memerlukan banyak hal yang tak selamanya mudah. Kita memerlukan persamaan nasib yang terus-menerus tapi sejarah dengan sedih mengatakan: itu mustahil. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

4 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

5 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

14 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

55 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya