11 maret

Penulis

Sabtu, 16 Maret 1985 00:00 WIB

SAYA tak bisa bercerita tentang hari penting itu, 11 Maret 1966. Saya juga tak bisa bercerita tentang kegemuruhan Jakarta, dalam sambutan sebuah kemenangan. Pada hari-hari itu, ketika ratusan ribu orang - di antaranya teman dan sahabat saya - diayun oleh perasaan cemas dan gembira, saya tak berada bersama mereka. Saya jauh, di sebuah kota kecil di Eropa. Di kota itu orang amat tenang. Tak ada ketidakpastian nasib sebuah bangsa seperti yang tengah merusuhkan Indonesia. Pada pagi hari jam kota berkeloneng bening, dan orang sarapan roti yang hangat. Hanya surat, dari keluarga dan teman-teman, hanya beberapa potong berita yang menghampirkan keresahan yang jauh itu, dari Jakarta, ke kota itu. Satu atau dua hari setelah 11 Maret 1966, misalnya, The Times (London) memuat reportase wartawannya, entah siapa, tentang kegembiraan yang meluap di jalan-jalan Jakarta ketika berita besar itu terdengar: Presiden Soekarno akhirnya mempercayakan kepada Mayjen Soeharto untuk memulihkan ketertiban - dan PKI akhirnya dibubarkan. Ratusan khalayak menghambur ke luar rumah. Pasukan tentara dan mahasiswa pada berpelukan, rasa syukur dikibarkan di tiap pojok. Sebuah persengketaan yang menegangkan berakhir. Sebuah kemenangan dirayakan. Wartawan The Times itu tak menyembunyikan keterlibatan emoslnya. Suasana begitu menggetarkan, demikian ia menulis (dan saya kutip dari ingatan), "bahkan buat seorang pengamat yang hatinya sudah keras juga sukar untuk tak ikut terharu" . Harus saya akui, pagi itu, di depan koran itu, di ruang sarapan dengan kopi dan roti hangat itu, mata saya jadi basah. "Suatu penyelesaian agaknya terjadi di Jakarta," sapa teman yang duduk di seberang saya. "Kenapa kalian menentang Partai Komunis?" Saya cuma ketawa. Sebab, bisakah saya menerangkan sepenuhnya? Apalagi kepada seseorang yang mengetahui hidup kita hanya dari seberang meja makan? Dapatkah saya terangkan kepadanya, dengan baik, kenapa saya menentang Partai Komunis? Di Jakarta pun, dulu, kecuali kepada teman-teman dekat, saya tak dapat menjelaskannya. PKI waktu itu begitu dominan: ide, slogan, dan kekuatan partai itu seperti melumpuhkan tiap pikiran alternatif - dan banyak orang, apalagi pejabat sipil serta tentara, yang memilih diam. Kenapa menentang Partai Komunis? Pada hari-hari tahun 1960-an, ketika rasa menyerah mulai menjalar, ketika hampir semua kita otomatis tergctar nanar di hadapan kata "Revolusi", jawaban makin sulit diberikan. Kata "Revolusi" hanya salah satu. Sederet panjang yang lain berbaris, desak-mendesak: "Manipol-USDEK", "kontrarevolusi", "progresif-revolusioner", "nekolim", dan seterusnya. Seutas sabda pun disembah, ditakuti, karena ditodongkan oleh kekuatan organisasi, politik, dan media. Ia bisa menjadikan sejumlah orang terkutuk atau, sebaliknya, terbujuk. Ia telah jadi semacam sihir, sesuatu yang merogoh dan mencengkeram jiwa kita - dan menjadikannya tawanan. Tapi pada suatu siang, duduk di ruang kiri Balai Budaya di Jakarta, tiba-tiba saya melihat burung-burung gereja hinggap ke tanah. Sinar matahari menyiram mereka, dan mereka sibuk dengan gesitnya, seperti yang sering dilagukan oleh nyanyian kanak-kanak. Tiba-tiba 1.000 slogan seakan-akan berhenti di kepala saya. Kenapa selama ini orang praktis terlupa akan burung gereja, daun asam, harum tanah: benda-benda nyata yang, meskipun sepele, memberi getar pada hidup dengan tanpa cingcong? Tidakkah itu juga sederet rahmat, sebuah bahan yang sah untuk percakapan, untuk pemikiran, untuk pulsi -- seperti kenyataan tentang cinta dan mati? Kenapa segala hal harus diliput oleh "kerangka Revolusi"? Benar berdosakah kita, ataukah itu hanya suatu dosa imajiner jika kita menulis sajak tentang burung,dan tak menyangkutpautkannya dengan "Rakyat", "perjuangan", "Manipol " ? Pertanyaan seperti itu memang semacam pendurhakaan. Siapa yang belum pernah hidup dalam udara totaliter tak akan mengerti hal itu. Sebab, totalitarisme itulah yang berhasil menciptakan sihir yang saya sebut di atas: ia menghendaki badan dan batin kita secara lengkap, di bawah komandonya. Ia menghendaki kita berubah sesuai dengan kehendaknya. Untuk itu, ia siap buat mengkhotbahi terus-menerus, mengejar-ngejar dan mengusut isi hati - dan bila kita dianggapnya tak bisa ia bentuk, kita akan disingkirkannya. Kurang-lebih, itulah agaknya alasan saya menentang Partai Komunis: Saya ingin menulis tentang burung dan angin, saya ingin menerima apa saja yang wajar di dekat ambang saya, saya ingin hati dan pikiran yang merdeka, agar bisa tulus. Tapi, tentu saja, alasan semacam ini - di Barat sudah jadi klise, di Indonesia kedengaran seperti manja - tak bisa diterangkan kepada setiap orang. Bahkan mungkin hal itu juga tidak akan bisa diterangkan kepada yang lain: para kenalan, yang menentang komunisme kemarin dan hari ini, tapi tak menghargai apa artinya pikiran yang merdeka - yang tak dikejarkejar, yang tak diusut dan diancam, sebuah pikiran yang tak ditakut-takuti oleh cap "berdosa" atas nama Tuhan ataupun kewaspadaan. Goenaan Mohamad

Berita terkait

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

9 jam lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

9 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

50 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

55 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

55 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya

Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya