NAMANYA Michiko, tapi barangkali juga bukan. Saya tak ingat lagi Saya hanya akan mengingatnya sebagai satu tipe, barangkali. Kami secara kebetulan bertemu, di sebuah kedai tempura di suatu malam di Shinjuku, Tokyo, mungkin dua tahun yang lalu. Ia duduk, bersama seorang wanita kulit putih yang tak jelas negerinya, dan seorang pria setengah baya, yang tampak sangat cendekia. Kemudian saya ketahui bahwa si wanita kulit putih itu (ia tak pernah menjelaskan apa pekerjaannya, hanya memberikan kesan bahwa ia keturunan Pengarang Aldous Huxl ley), sedikit banyak ikut terlibat dalam pelbagai kegiatan di dunia "Timur" - antara lain membela nasib para pengikut Dalai Lama. Si pria lebih persis: ia profesor antropologi dari Milano, yang tengah berkunjung di Jepang. Malam itu kedai tempura sedang sepi, dan dengan mudah terdengar oleh saya, mereka, dalam bahasa Inggris, tengah membicarakan negeri saya. Michiko tampak paling bersemangat: wajahnya lembut seperti wanita dalam film samurai, tapi sikapnya bukan sikap gadis Jepang yany biasa. Ia pasti seorang anak dari keluarga mampu, yang biasa bepergian dengan minat (dan waktu banyak) untuk mengetahui dunia dan isinya yang ganjil. Nah, tak teramat heran bahwa kami kemudian berkenalan: dengan segera ketahuan bahwa saya bukan orang Jepang, dan karena itu bisa dimasukkan sebagai pengalaman baru, atau setidaknya contoh budaya dari jauh yang sayang bila dilewatkan di kedai nasi meskipun harus saya katakan bahwa karena ltu pertemuan ltu bukanlah pertemuan yang enak. Michiko, si gadis Jepang itu, dengan segera menyatakan perhatiannya. "Tuan dari Jakarta? Bukan dari Yogya atau Solo? Saya ingin sekali mempelajari segala sesuatu tentang kebudayaan Jawa, misalnya kejawen. Saya tidak begitu suka Jakarta. Maaf. Tapi Tuan juga mungkin tak tertarik pada kebudayaan tradisional .... Wartawan terlalu sibuk, no?" Apa boleh buat. Saya tak diberi karunia untuk bisa fasih bicara dalam percakapan seperti itu, apalagi di hadapan seorang wanita muda yang tampaknya ingin memberi impresi kepiawaian kepada para pendengarnya, terutama mungkin si profesor dari Milano. Ketika saya katakan bahwa saya juga dulu berasal dari Jawa Tengah, Michiko memandang kembali, mungkin kecewa, mungkin ak percaya (mungkin karena saya, malam itu, memakai dasi rep tie), tapi pertanyaan berikutnya juga sudah bisa diharapkan. "Oh, Tuan abangan atau santri Priayi atau wong cilik?" Oh, Clifford Geertz, Tuan benar-benar telah tersebar sampai ke Shinjuku ! Tapi Clifford Geertz, dengan Religion of Java -nya itu, tentu saja tak cuma sampai di Shinjuku. Kategori-kategorinya, yang tak sepenuhnya benar, tapi juga tak seluruhnya salah, seakan memukau banyak orang - juga di Indonesia sendiri. Bersama sekian telaah para ahli lain tentang "Jawa", sebuah mozaik telah tersusun. Dan tampaknya dengan itulah orang kini melihat seorang Jawa: bagaimana ia memandang kekuasaan, bagaimana ia hidup beragama, bagaimana ia mempertahankan diri, melucu, mengkritik, dan entah apa lagi. Di tatapan itu, seperti saya di mata Michiko malam itu, seorang "Jawa" agaknya akan selalu terpaksa menggeliat-geliat, seperti sebuah fenomena di depan mikroskop: ia bagian dari suatu bibliografi, dan sekaligus sesuatu yang masih agak remang. Ada yang membuat seseorang merasa risi ketika ia tak diterima sebagai dirinya sendiri, yang utuh dan tak terduga-duga. Tapi ada yang tidak melihatnya demikian. Sebab kini terasa kecenderungan di sebaglan lapisan atas orang Jawa, terutama yang banyak bersua dengan "tatapan" asing: mereka justru seakan menikmati posisi di depan mikroskop itu. Barangkali karena dengan itu, "ke-jawa-an" bisa jadi semacam alat panggung. Ia jadi warna, couler locale, yang memikat - sepertl hlas nas yang mengimbau para pelancong. Ia bahkan bisa jadi topeng untuk menari dan sekaligus menyembunyikan atau mengangkat diri sendiri, dari suatu posisi yang tak begitu jelas, agak hambar dan mungkin kosong. Tiga atau empat tahun yang lalu saya pernah menghadiri suatu pembacaan puisi di Yogya, yang diselenggarakan dengan lesehan, gamelan dan pernyataan "ini-suasana jawa-lho". Di sebelah saya duduk Sejarawan Taufik Abdullah. Saya berbisik kepadanya apakah ia tak merasa bahwa "ke-jawa-an" telah jadi sejenis kebutuhan. Ia berbalik berbisik, bahwa "jawa" kini telah meningkat menjadi "misteri". Ataukah, sebenarnya, orang Jawa juga tengah mencari "jawa" untuk diri mereka sendiri, di tengah proses penjadian Indonesia yang terus-menerus - hanya dengan cara yang agak terlampau menyilaukan? Ah, saya ingat gadis Jepang di Shinjuku itu. Tahun lalu saya ke Yogya lagi. Berdiri di kampus Bulaksumur, saya tiba-tiba melihat dia. Saya tak menyapanya. Saya hanya berharap, ia tak akan kecewa dengan misteri yang didekatinya. Misteri itu toh bisa juga pudar pesonanya, ketika kita menelitinya, dari dalam. Tapi bersediakah orang kini kehilangan sedikit pesona apa saja, sedikit ketakjuban? Siapa tahu, itu adalah sisa jiwa "di dunia yang hilang jiwa" - seperti dikatakan Chairil Anwar dalam Hesea .... Goenawan Mohamad