CENGKARENG barangkali sebuah karikatur. Bandar udara itu dinyatakan dibuka secara resmi, tapi kita tahu apa yang terjadi: sebuah daftar panjang kekalangkabutan. Telepon hanya satu pesawat yang jalan, ruang-ruang tanpa restoran, lorong-gerak tiap kali meleset menjemput pintu pesawat - bagaikan belalai gajah teler - dan tanda informasi serba tak jelas. Pelayanan cerai-berai. Personil kikuk seperti robot kehabisan listrik - dan semuanya persis terpampang di pintu besar utama Republik Indonesia. Maka, terjadilah karikatur itu: orang Indonesia memang tak efisien, acak-acakan, menggantang asap. Jalannya pelan dan mulutnya berbunyi: insya Allah, semuanya gampang diatur, tanpa jelas siapa yang mengatur apa. Dan bagaimana. Seperti layaknya karikatur, gambaran itu agak melebih-lebihkan dan sekaligus mengungkapkan sebuah prasangka. Tapi juga seperti lazimnya sebuah karikatur, ia adalah olok-olok yang dengan satu cara yang kurang hormat melapisi suatu kebenaran. Dan, apa boleh buat, Cengkareng tak menyelamatkan kita, orang Indonesia, dari olok-olok itu. Tiap bangsa, tiap kelompok, rupanya memang punya raut sendiri untuk dirumuskan dan di-gebyah uyah. Dalam "rumusan" itu, orang Indonesia - yang sebagian besar berumpun Melayu - tergambar sebagai orang yang hanya banyak senyum, banyak belanja, banyak tiduran, banyak kenduri. Dalam "rumusan" itu, kerja keras, kemampuan analisa dan perencanaan, keterampilan teknis yang tinggi tidak disebut-sebut Orang bilang, ltu semua bukan cuma hasll prasangka orang lain, melainkan memang "kebudayaan" si Melayu sendiri. Di Singapura, bahkan orang seperti Perdana Menteri Lee Kuan Yew percaya akan teori yang mengutuk itu - ia bicara tentang "kebudayaan yang sumbernya Hindu, sebuah "kebudayaan" yang tidak "intens" - dan hampir tiap orang Singapura keturunan Cina mengamimimya. Saya pernah berada dalam satu kelompok dengan seorang Melayu dari Malaysia, di suatu pertemuan internasional. Ia seorang ahli geografi yang banyak melakukan penelitian tapi ia juga orang yang subur humor. Kami sering kedapatan tertawa. Maka, para peserta dari Singapura memandang kaml dengan pandang maklum, dan salah seorang dari mereka, Nancy Lee (bukan nama sebenarnya), memberi komentar, "Kalian berdua memperkenalkan kehangatan Melayu pada pertemuan ini." You are charming but you are the next century fools .... Kita menelan kemarahan atau malu. Kita tahu bahwa di Amerika orang putih bicara yang sama tentang orang hitam: malas, tidak ekonomis, jorok - tapi ini bukan hinaan Iho, karena mereka toh bisa breakdance dan bersama Hubert Laws, bisa menahan gelombang hidup dengan memainkan How to Beat the High Cost of Living pada flute. Di tiap bagian dunia tampaknya selalu ada orang-orang yang kepingin lepas landas tapl selalu terdampar - orang-orang yang menghadapi dunia modern dengan tenggorokan megap-megap dan tangan canggung, tapi terlena, dan tampil sebagai karikatur keterbelakangan. Tapi mau apa kita? Orang Singapura membuktikan bahwa mereka bisa punya airport Changi - mungkin yang paling rapi dan nyaman di seluruh dunia - dan kita punya centang perenang Cengkareng. Namun, seorang kenalan, seorang ahli manajemen, berkata bahwa kekalangkabutan boyongnya sebuah bandar udara ke Cengkareng adalah sebuah kasus yang sebenarnya tak perlu terjadi, juga di Indonesia. Dalam keterampilan manajemen yang paling awal, kata teman tadi, yang bisa dipakai dalam kebudayaan apa pun, ada teknik pengambilan keputusan. Salah satu bagian adalah bagaimana menganalisa persoalan-persoalan yang mungkin terjadi bila suatu tindakan dilakukan - yang ia sebut sebagal teknik "analisa persoalan-persoalan potensial". Demikianlah, kata kenalan tadi, manajer pemindahan pelabuhan udara dari Halim Perdanakusuma ke Cengkareng harus punya daftar soal-soal apa saja yang bisa terjadi. Ia, bersama stafnya, kemudian merumuskan tindakan preventif apa saja yang harus disiapkan. Dan bila kegagalan terjadi di suatu tempat, tindakan "protektif" apa yang tersedia. Memang tidak adakah analisa seperti itu waktu mereka merencanakan pemboyongan seluruh jenis penerbangan ke Cengkareng sekaligus? Entah, jawab teman saya tadi. Tapi kalaupun ada, analisanya pasti tak cukup baik. Mungkin juga kontrol dan koordinasinya berantakan. Pokoknya, kata teman tadi dengan suara angker seperti guru menjelang jam pulang, Cengkareng adalah kasus kegagalan manajemen. Jangan meremehkan organisasi, jangan meremehkan manajemen, pesannya. Ada masanya para entrepeneur mengambil keputusan yang berani, tapi siapa yang di zaman ini tak cakap dalam organisasi akan tertabrak. Lihatlah komputer, katanya lagi. Ia bukan cuma mesin penyimpan dan pengolah data menjadi informasi la juga sebuah mesin yang mau tak mau harus dilayani oleh sebuah sistem kerja yang teratur, sebuah pengelolaan yang berencana dan rapi. Jika ia sebuah mesin di masa mendatang, maka kita harus siap untuk menghadapi keharusan kita bertingkah laku yang tidak acak-acakan. Dan Cengkareng? tanya saya. Cengkareng itu hanya keberanian memutuskan. Cengkareng itu hanya impuls. Hanya kegairahan. Sebuah karikatur, sekali lagi, tentang sebuah bangsa yang belum juga lepas landas. Goenawan Mohanad.