Rambo

Penulis

Sabtu, 27 Juli 1985 00:00 WIB

JIKA benar Rambo adalah suasana hati Amerika kini, kita perlu jeri, atau geli bergantung pada apa yang akan dilakukan orang di sana nanti. Mungkin Anda sudah menonton film itu. Sylvester Stallone muncul di hutan belantara Vietnam. Rambutnya berjurai ke tengkuk. Geraknya gesit. Ototnya besar bagaikan singkong mukibat. Dan dia datang, dia berjuang, dia menang, dengan catatan: semuanya dilakukan secara seru, tapi tak amat sulit. Tentu,James Bond dan Indiana Jones juga seperti itu: laki-laki yang tak terkalahkan dalam tiap pergulatan. Tetapi Rambo sedikit lain. Dan yang "sedikit" itu justru penting. Dalam film-film James Bond, seperti juga dalam film Indiana Jones, ada nada dasar yang cepat terasa: humor. Ada sikap main-main, bahkan ada parodi pada diri sendiri. Dalam Rambo, senyum itu absen. Dengan wajah tampan yang mengesankan rasa asam dalam keringat, sang jagoan - entah kenapa terus-menerus serius. Bagi saya, ia bahkan lebih dari sekadar serius. Ia fanatik. James Bond, mata-mata dari Kerajaan Inggris itu, bisa (dengan sikapnya yang begitu mentereng dan sekaligus mencemooh) mengambil jarak dari keyakinan-keyakinannya sendiri, kalaupun ia punya keyakinan. Rambo tidak. Ia berani, ia ahli berkelahi. Tapi pada dasarnya ia sukarelawan yang berapi-api untuk bertarung nonstop, waspada nonstop, dan membawa prasangka-prasangka Amerika nonstop. Musuh James Bond, kecuali mungkin dalam From Russia with Love, adalah bandit-bandit yang mengancam seluruh dunia tanpa pandang kebangsaan dan ideologi. Musuh Rambo, sebaliknya, dibatasi oleh kenyataan bahwa mereka musuh Amerika Serikat kini: pasukan Vietnam, tentara Soviet. Dan bila bandit-bandit James Bond biasanya sempat menjelaskan ambisi-nya, yang umumnya begitu besar dan tak masuk akal (hingga kita tahu, kita sedang menyaksikan dongeng yang lucu), musuh Rambo sebaliknya tak berbicara tentang alasan-alasannya. Mereka hanya keji. Rambo, dengan kata lain, adalah khas sebuah cerita propaganda politik. Baginya dunia menjadi bersahaja, dalam permusuhan. Film Rambo bahkan membenci keruwetan dengan keras (dan, sekali lagi, dengan fanatik). Di akhir- film, Sylvester Stallone membidikkan senjata semiotomatiknya, yang ia angkut dengan lengannya yang liat menggelegak, ke arah komputer. Teknologi penyimpan informasi itu pun hancur. Untuk berbuat, seakan-akan begitulah statemennya, manusia tak memerlukan informasi. Tahu lebih banyak bisa menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks - dan jawaban-jawaban yang tidak satu, tidak mudah. Rambo tak mau itu. Maka, jika benar Rambo adalah suasana hati Amerika kini, kita perlu awas - atau berdoa bahwa semuanya itu semoga tidak betul. Sebab, Rambo adalah sebuah jiwa Amerika yang sakit oleh sebuah luka. Adapun luka itu disangka datang dari luar, padahal barangkali ia datang dari diri sendiri. Adegan awal: Rambo sedang bekerja sebagai orang hukuman, seorang bekas anggota pasukan Baret Hijau yang tersingkir setelah Perang Vietnam. Muncul bekas komandannya. Ia meminta Rambo bertugas ke Vietnam lagi. Tujuan: menyelidiki ada tidaknya sisa-sisa prajurit Amerika yang masih ditahan di negeri Asia Tenggara itu. Rambo diam, lalu bertanya: "Kali ini, kita harus menang?" Persepsi Rambo, tampaknya, ialah bahwa dalam Perang Vietnam Yang lalu itu Amerika Serikat telah kalah. Ia, seperti banyak sekali orang Amerika, lupa bahwa perang telah berakhir dengan tanpa sepotong wilayah Amerika pun jatuh. Perdamaian diteken di Paris dan menteri luar negeri Amerika, bersama menteri luar negeri Vietnam, dapat Hadiah Nobel. Maka, jika ada yang benar-benar kalah, itu hanya sebuah republik yang dulu pernah ada, sebuah negeri dengan ibu kota Saigon. Negeri itu kini telah diambil alih dan diduduki. Washington D.C. tidak, dan orang-orang Amerika seperti Sylvester Stallone tak harus lari sebagai orang perahu. Memang, Amerika telah gagal di sana. Ia tidak menang. Tapi siapa bilang kegagalan, Juga ketidakmenangan, dengan sendirinya berarti kekalahan? Kegagalan, seperti yang terjadi di Asia Tenggara satu dasawarsa yang lalu itu, bahkan sesuatu yang wajar: dunia toh sudah terlampau ruwet untuk dijangkau oleh satu dan dua tangan, biarpun tangan itu made in USA sekalipun. Tapi siapa akan menyalahkan Rambo, patriot yang tampak dungu itu, bila ia tak memahami hal itu? Bagaimanapun juga, ia warga dari sebuah negeri, yang begitu luas, begitu bermacam-macam penduduknya, begitu mencengangkan - sebuah negeri yang begitu besar hingga tiap hari harus sibuk berjuang dengan kebesarannya sendiri. Dengan kata lain, sebuah negeri yang mungkin sebenarnya tak punya waktu untuk memahami dunia di luarnya yang jauh, dan boleh jadi karena itu merasa asing, terkepung, dan tak habis-habisnya bingung. Maka, ketika dalam Rambo, gadis Vietnam yang jadi teman di hutan itu mati (sesuatu yang sudah bisa diduga), kita segera tahu betapa pas hal itu bagi dunia Sylvester Stallone. Ia akhirnya sendiri. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

13 jam lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

9 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

50 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

55 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

55 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya

Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya