C.M.

Penulis

Sabtu, 7 September 1985 00:00 WIB

DUA huruf tersembunyi dalam singkatan RSCM, tapi ratusan ribu orang Jakarta - yang menyebutnya tiap hari lupa akan sebuah nama yang bagus. Di halaman rumah sakit itu memang ada patung Cipto Mangunkusumo. Tapi siapa yang peduli? Di tahun 1952 pernah terbit sebuah buku, ditulis oleh Almarhum M. Balfas, Tjipto Mangunkusumo, Demokrat Sedjati, tapi sudah tentu buku begitu kini tak dicetak lagi. Dia tokoh sejarah, itu benar. Dia perintis kemerdekaan. Tapi generasi Cipto umumnya dilihat hanya sebagai potret-potret menguning: orang-orang yang-ditulis dalam buku pelajaran dan terpisah dari hidup kita kini. Pahlawan? Mungkin - meskipun gambaran kita tentang pahlawan makin lama makin terbatas. Lukisan pada gapura-gapura di lorong kampunG pada tanggal 17 Agustus itu menampakkan tokoh yang tetap: pemuda gondrong, berdestar merah putih, bersenjata. Dan kita pun makin lupa bahwa pahlawan di gapura itu tak akan lahir tanpa orang macam Cipto. Yang terjadi di tahun 1945 adalah ledakan sebuah klimaks dari kepedihan yang panjang. Namanya kolonialisme: sebuah kata benda abstrak. tapi di zaman Cipto, sebuah pengalaman yang menusuk sampai ke ulu hati. Cipto lahir di Ambarawa, dekat Semarang, di tahun 1886. Dia bukan anak priayi tinggi. Ia hanya anak guru. Kenyataan itu penting, bagi sebuah zaman yang lebih mempersoalkan siapa bapakmu ketimbang siapa dirimu. Kenyataan itu juga tajam dan keras, karena Cipto ditempa di sebuah "kawah" yang bernama Stovia. Stovia, tempat pendidikan dokter-jawa itu, bukanlah sekolah untuk kaum menak. Sederet catatan tentang asal-usul murid dan lulusan Stovia 1875-1904 menunjukkan, hanya kurang dari 25% yang berasal dari kalangan bupati, patih, wedana, penghulu kepala. Dalam statistik itu sebagian besar adalah anak-anak pejabat menengah, misalnya guru dan mantri. Bahkan tercatat ada anak klerk, lurah, pedagang serta - sebanyak 10 orang - anak . . . pembantu rumah tangga. Tak heran, dari Stovialah proses itu bermula. Di sini, harapan anak-anak itu untuk naik jenjang sosial digantang. Tapi ternyata, setelah lulus, sistem kolonial tak memberi pintu. Sang dokter-jawa tetap diperlakukan oleh para pejabat Belanda dan para Binnenalands Bestuur pribumi kira-kira setaraf dengan mantri pengairan. Gaji mereka 70 gulden, cuma separuh dari yang diterima lulusan Osvia, sekolah pejabat yang diisi anak para ningrat itu. Dan Cipto menyadari semua ini, dengan intens. Anak sulung dalam keluarga bersembilan ini pintar, tapi juga pemberang. Konon, karena itulah ia terpaksa indekos di kampung, di sekitar sekolah. Bersama anak-anak Srovia lain, yang makan di rumah-rumah kampung yang tak tampak dari Menteng itu, Cipto pun kian tergores, dan tergosok, oleh ketimpangan zamannya. Di tahun 1907, ketika umurnya 21, ia menulis buat pertama kalinya sebuah artikel galak di koran De Locomotief. Cipto menentang dekrit bahwa jabatan bupati dilanjutkan turun-temurun. Bagi Cipto, seperti laiknya bagi orang modern di masanya, pengetahuan dan kemampuan, bukannya keturunan, itulah yang menentukan. Dan jadilah ia seorang pembangkang: seorang yang menyerukan semangat egalitarian di suatu zaman yang mengukuhkan tingkat-tingkat. Dalam kongres pertama Budi Utomo, Agustus 1908, ia sudah menentang bila organisasi itu digunakan hanya untuk mengembangkan kebudayaan Jawa. Ia juga menentang agar orang berpegang pada sejarah di Tanah Jawa. Baik kebudayaan maupun sejarah, kata Cipto, selama berabad-abad jadi wilayah pribadi para pangeran belaka, dan tak seorang pun mengacuhkan si orang kecil. Tugas mendesak Budi Utomo, karenanya, bagi Cipto jelas: menyela-matkan rakyat dari kemiskinan rohani dan materi. Bicara demikian, bagi seorang pemuda 22 tahun, di depan suatu kongres yang dihadiri para orang tua dan bangsawan tinggi di Yogyakarta (dan ini adalah tahun 1908), memerlukan keberanian luar biasa. Tapi Cipto memang keras. Ia keluar dari Budi Utomo ketika organisasi ini jatuh ke pangkuan para pejabat pemerintah kolonial yang mulai tua. Kemudian, Cipto pun bergabung dengan Indische Partij, yang hendak membangunkan patriotisme Hindia, dan menyiapkan kemerdekaan sebuah tanah air yang satu untuk segala suku, segala ras. Bersama E.F.H. Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara, Cipto memang pelopor sebuah zaman baru. Hanya orang yang peka, dan terlibat dalam keresahan hati di sekitarnya, yang bisa demikian. Mungkin itulah sebabnya ia tahu, bukan dia yang takut, melainkan penguasa kolonial itu yang takut. Ketika pemerintah membeslah karya-karya Ki Hadjar (waktu itu masih Suwardi Surjaningrat), dengan apinya yang khas Cipto menulis, bertanya: kekuatan atau ketakutankah yang menyebabkan tindakan itu? Kracht of vrees? Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

6 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

7 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

16 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

57 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya